Bab 43•Jadi?...

808 52 7
                                    

Jangan pernah merendahkan orang lain, agar bisa meninggikan diri sendiri.

☂☂☂

Setelah mengetahui alasan mengapa wajah Bimo lebam-lebam, Kana langsung membawa cowok itu menuju rumahnya. Oh ralat, Bimo yang memintanya.

Tadinya, Kana menyuruhnya untuk ke rumah sakit. Tetapi Bimo menolak, cowok itu langsung membelokkan stir motornya menuju rumah Kana.

Kana menepuk punggung Bimo keras, lalu turun dari motor gede cowok itu.
Gadis itu berjalan mendahului Bimo dengan langkah kaki di gentak-gentak.

Bimo terkekeh dari belakang, lalu dia melihat rumah Kana dengan pandangan tak dapat diartikan.

"Masuk aja, maaf ya rumah aku jelek." Bimo terkekeh dengan ucapan Kana. Cowok itu mendekat memasuki rumah Kana. Tetapi sebelumnya, dia mencubit pipi Kana terlebih dahulu, ketika jaraknya dengan gadis itu cukup dekat.

"Gue gak peduli, yang penting lo nya cantik." Bukannya baper, Kana justru mendelik tajam. Bimo memasuki rumahnya dengan langkah santai, lalu duduk di sofa reyot yang sudah bertahun-tahun Kana punya.

"Bentar ya, aku ambil es batu sama handuk kecil dulu." Bimo mengangguk, sambil menatap punggung gadis itu yang kian menuju dapur.

Bimo melihat-lihat isi rumah Kana, rumah ini kecil, tidak besar. Cat temboknya juga sudah keropos, atap-atap rumah ini juga sudah ada yang bocor. Bimo tertegun sebentar, ketika menyadari bahwa gadis itu tidak pernah mengeluh atas hidupnya yang sekarang ini. Kana terlihat baik-baik saja di sekolah, walaupun dia selalu dibully oleh murid-murid di sekolahnya.

Ada satu ruangan yang menarik perhatian Bimo. Cowok itu berjalan mendekati ruangan itu, kemudian masuk. Oh, ternyata ini kamar Kana. Bimo melihat-lihat isi kamar tersebut. Banyak buku-buku yang tersimpan di sebuah meja yang terletak di pojok ruangan. Nampaknya Bimo mual, mual setelah melihat tumpukan-tumpukan buku yang cukup banyak. Cowok itu alergi buku.

Pandangannya kini beralih, melihat beberapa bingkai beserta foto yang tertempel di dinding kamar Kana. Sebuah foto yang ia kenali, sangat menarik perhatiannya. Saya jelaskan lagi, sangat. Bimo mendekati foto berbingkai bunga itu, lalu mengambilnya. Ia menyipitkan matanya, dan berusaha mengingat-ingat foto yang tidak asing itu.

Jantungnya seperti terhenti tiba-tiba, ketika ia ingat kalau foto yang dipegangnya saat ini adalah foto gadis berusia lima tahun, yang dimana ayah tirinya juga mempunyai foto tersebut.

Bimo membalikkan bingkai foto itu. Matanya menangkap sebuah kertas yang terlipat rapi membentuk segi empat. Bimo mengambil kertas itu, lalu membuka nya dan mulai membacanya.

27 September 2012

Kata Bu Tri, tanggal itu tanggal dimana aku ditemukan di sebuah jurang. Aku tidak sadar waktu itu, kepala ku berdarah. Bu Tri membawa ku ke rumah sakit di dekat sana, lalu kata dokter, aku mengalami amnesia sebagian. Sayang sekali, kata Bu Tri, disana tidak ada siapa-siapa selain aku. Ayah dan Bunda, sudah meninggal. Bu Tri menemukan sebuah foto di kantong celana ku. Foto itu foto aku berusia lima tahun. Dan sekarang, foto ini sudah aku bingkai di bingkai bermotif bunga. Walaupun fotonya kusut karena aku lipat-lipat menjadi kecil, tetapi tidak apa-apa, yang penting aku punya foto masa kecilku.

Waktu itu Bu Tri bilang dia mau mengasuhku. Aku tidak tau nama asli ku siapa. Yang jelas, Bu Tri memberi ku nama. Alkana Febiola Alfarieta. Kami pindah dari desa dekat jurang itu. Tidak terlalu jauh, cuma pindah beberapa kilometer saja.

Tujuh tahun lalu, aku ingin semuanya tak terjadi. Ayah, Bunda, aku rindu.
-Kana.

Hati Bimo tertohok sebentar. Ternyata, gadis yang selama ini ia anggap adiknya memang adik tirinya sendiri. Takdir Tuhan memang tidak ada yang tahu.

La-Luna (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang