Tara satu

4 1 0
                                    

Suara dentingan sendok dan piring memenuhi telingaku, dipadu dengan suara tawa, pekikan, candaan. Aku tertawa menatap wajah teman semasa SMA-ku yang melontarkan guyonan jadul. 'Selera humornya belum berubah' pikirku.

Aku sungguh merindukan momen seperti ini. Bercanda tawa, saling mengejek satu sama lain tanpa ada yang merasa tersakiti. Aku memperhatikan sekelilingku, mengamati tujuh wajah sahabatku sedari masa SMA. Tidak ada yang berubah. Mereka hanya terlihat lebih dewasa di usianya yang sudah berumur dua puluh tahun.

Kami dulu beranggotakan sepuluh orang. Namun, salah duanya menghilang. Melupakan semua kisah dan menganggap kebersamaan kami tiada artinya. Namun tak apa, mungkin mereka berdua lebih bahagia dengan kawan barunya. Kami berdelapan, tidak menyalahkan mereka berdua. Kami menghargai keputusan teman kami, atau bisa kami sebut, mantan teman kami.

Kami tentu merasa kehilangan dua teman kami. Namun rasa kehilangan itu, membuat persahabatan kami semakin erat. Kami menjadi lebih menghargai arti persahabatan dan kebersamaan.

Contohnya seperti sekarang ini. Kami berdelapan orang duduk melingkari meja bundar berkain putih bersih. Saling menyimak diskusi dan candaan. Tidak ada yang terpaku dengan telepon genggamnya. Kami berusaha menghargai kebersamaan yang tidak bisa didapatkan setiap hari, dikarenakan kesibukan kami sebagai mahasiswa dari perguruan tinggi negeri yang berbeda.

Aku menyesap minuman berwarna merah untuk membasahi tenggorokanku yang mulai kering akibat banyak tertawa. Saat aku kembali menatap kedepan, aku menangkap sosok perempuan berkaca mata bulat yang tersenyum sangat manis. Dia tersenyum simpul dikala mendengarkan ocehan temannya. Aku seperti terperangkap sesaat oleh pesonanya. Aku tak sanggup beralih dari menatapnya, hingga temanku menepuk pundak kananku. Membuatku tersadar kembali dari pesonanya.
'Oh sungguh manis sekali' pikirku saat kembali menatapnya.

"Lu ngeliatin apa sih?", temanku, Rio, yang menepuk pundakku tadi. Rio mengikuti arah pandangku. Aku masih tersenyum menatap perempuan itu seraya menyandarkan punggungku di kursi berkain putih gading.

"Lu kenal sama dia? Kok gak ngobrol?", tanya Rio yang menjadi penasaran akibat aku menatap perempuan itu terus-menerus.

"Dia? Ah, engga kok, gue gak kenal. Baru ngeliat sekarang.", jawabku yang masih belum bisa mengalihkan pandanganku.

"Ohh, hahaha. Gue tau nih, naksir ya lu?", tebak Rio dengan suara yang agak keras sehingga mengalihkan perhatian teman-temanku.

Aku memutar bola mataku saat melihat wajah teman-temanku penasaran dengan apa yang terjadi padaku dan Rio.

"Ada apa sih?", tanya Andre yang sedari tadi melontarkan guyonan 'jadul'. Aku berdehem untuk menyiapkan diri bersuara. Ku tegakkan badanku dan mendekat ke meja putih didepanku.

"Posisi arah jam 11 dari gue, ada cewe cantik. Jangan langsung nengok. Nanti orangnya tau.", jawabku seraya menatap kebawah dan menggaruk bagian tengkuk yang tidak gatal.

"Wah iya cantik banget. Tipe lu banget pake kacamata, kulit putih bersih.", ucap Arka yang duduk di sebelah kiriku.

"Tapi, kayaknya dia bukan angkatan kita deh. Masih muda banget dari mukanya." Ucap Andra yang baru saja menatap perempuan itu.

"Yang mana sih? Yang pake baju warna apa?", tanya Randi yang duduk berhadapan denganku, jadi agak sulit baginya untuk mencari sosok perempuan itu.

"Pakai baju warna merah muda, Ran", Jawab Rio sebelum aku bersuara untuk menjawab.

"Iya, kayaknya bener kata Andra deh. Dia gak seangkatan sama kita. Mungkin dua tahun dibawah kita.", ucapku menyetujui ucapan Andra.

"Tes, tes, satu dua tiga. Perhatian untuk semua hadirin acara Reuni Rohis SMA Bakti Jaya, dipersilahkan untuk berdiri menyambut pembina kita, bapak Hj. Mulyana." Ucap MC acara yang menginterupsi pembicaraan kami.

Semua yang hadir disini berdiri dan bertepuk tangan untuk menyambut pembina rohis di SMA kami. Pidato singkat namun mengharukan diucapkan oleh pembina. Aku mendengarkannya dengan penuh hikmat, meski sesekali melirik perempuan berhijab merah muda senada dengan bajunya.

Hingga tak terasa sudah di penghujung acara. Kami bersalaman dengan teman-teman Rohis lainnya yang duduk di sebelah kami. Selepas bersalaman, kami memutuskan untuk pergi ke kos Arka yang berlokasi tidak jauh dari gedung serbaguna ini.

Aku menengok ke belakang sesampainya di depan pintu gedung. Aku mencari perempuan yang belum ku ketahui namanya. Aku berputar ditempat untuk melihat sekelilingku. Mataku menyusuri banyak orang yang berlalu lalang dihadapanku.

"Razka!!". Aku menoleh ke sumber suara. Aku melihat teman-temanku menungguku di parkiran yang tak jauh dari posisiku berdiri.

Aku berlari kecil seraya melihat sekeliling memastikan keberadaan perempuan tanpa nama itu.

Aku menghela nafas panjang sesampainya didepan mereka. Mereka melihatku dengan tatapan sedikit kasihan. Mereka tau aku tertarik dengan perempuan itu namun aku belum bisa mengetahui apapun tentangnya, bahkan namanya sekalipun.

"Udah, besok kita cari lagi. Jangan lemes gitu dong, bro!" Ucap Fadhil seraya menepuk pundakku untuk menyemangatiku. Dia memang yang paling peka dengan keadaan temannya dibanding yang lain. Yang lain peka, namun tidak sepeka Fadhil.

"Thank you guys." Ucapku lirih. Kemudian kami berjalan menuju mobil Andra dan Rio di parkiran untuk menuju kos Arka yang sudah kami anggap sebagai 'base camp'.

'Aku berharap kita segera dipertemukan kembali, Tara.'

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 28, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang