Arka mengepalkan tangannya menatap pemandangan diujung lorong sana nyalang. Digenggamannya terdapat benda pipih miliknya.
Rahangnya mengeras sementara kilatan amarah menggebu gebu hanya dari tatapan. Dapat dia tangkap seorang gadis dengan pakaian setengah robek sedang menangis histeris, sedangkan orang yang menontonnya tertawa mengejek.
"Berhenti!" teriak Arka yang mengintrupsi kegiatan sekumpulan cowok cowok itu.
Dhena ikut menoleh memandang Arka dengan mata yang begitu sembab.
"Kak Arka," sendunya.
Arka menempelkan benda pipih itu ketelinganya lalu terlihat menikmati peran.
"Iyah om? Laporan kejahatan asusila boleh? Sekalian suruh tim om buat datang kegang sempit dekat kampus. Banyak para bajingan yang perlu ditangkap!" Arka berucap pada benda pipih itu.
Seketika, seluruh kumpulan anak cowok itu tampak khawatir melihat Arka dan sipenelpon.
"Oke om."
"Kalau kalian belum mau kabur, kayaknya enak lihat sekumpulan bajingan pecundang kena tangkap!" seru Arka dengan logat tenang yang dia buat buat.
"Sorry bro, kita cuman ngegertak dia ajah, ngerjain dia sampe nangis. Tadi juga bakal kita suruh balik tuh gadis." papar salah seorang cowok sebelum sekumpulan para cowok bajingan itu mulai lari terbirit takut dengan ancaman Arka.
Meninggalkan Dhena dan dia yang terdiam tak berkutik. Dhena masih terus menangis terisak, sambil memeluk tubuhnya yang hanya terbalut kemejanya yang robek.
"Mana handphone lo?!!" tanya Arka dingin nan tajam.
Gadis yang ditanyapun menunjukkan benda pipih miliknya pada Arka. Arka menarik kasar handphone Dhena dari tangan gadis itu.
"Guna handphone buat apa?!! Kalau gak di pake?! gak ada guna!"
'Brakkk' Arka melemparkan kasar handphone milik Dhena keatas aspal, melampiaskan segala amarahnya pada benda itu.
"GUE UDAH BERKALI KALI NELPON LO!"
Tangis Dhena makin menjadi jadi, meninggalkan jejak jejak air mata di pipi tembemnya.
Arka benar benar marah, marah pada dirinya sendiri, marah pada Dhena, marah pada sekumpulan cowok tadi, bahkan marah kepada malam yang menciptakan kenangan sendu bagi gadis itu.
Dia melangkah benar benar berniat meninggalkan Dhena. Namun isak tangis Dhena mengganggunya untuk segera ikut bersedih.
Pria itu mendesah berat, lalu kembali berbalik mendekat berhadapan dengan Dhena yang makin menunduk sendu.
"Ma-maafin hiks, aku kak." ucap Dhena parau ditengah isak tangisnya.
Arka tak kuat, dia benar benar tak kuat melihat Dhena menangis. Bahkan, didalam dirinya sudah lama tertanam tak akan ada alasan Dhena untuk bersedih, barang sekali.
"Jangan buat gue setakut tadi, gimana kalau gue gak datang?" celoteh Arka.
Cowok itu akhirnya menarik Dhena pelan, mendekap gadis itu lembut didalam peluknya. Bukannya diam, Dhena malah makin terisak memeluk Arka erat. Tak membiarkan cowok itu bergerak sedikitpun.
Dhena takut, sungguh.
"Dhena takut... Dhena takut." ucap Dhena kembali. Sekitar 10 menit posisi keduanya masih sama. Namun, isakkan tangis Dhena sudah mulai berhenti.
"Gue pernah bilangkan, kalau gue gak suka lo nangis, bahkan kalau gue penyebab tangisan lo, gue bakal hancurin diri gue sendiri." terang Arka serius. Cowok itu lalu melepaskan dekapannya dari Dhena, menatap mata Dhena lurus lurus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Adhena (Complete√)
Teen Fiction"Seharusnya gue tau Na, kalau lo itu hanya sebatas rubik, sulit buat ditebak. Kadang, semampu apapun kita buat susunan rubik itu jadi, tak berarti apapun. Malah rubik itu bisa makin berantakan." ucap pria itu dengan nada yang terdengar sedikit lirih...