16. Fajar di Langit Biru

478 43 0
                                    

Cinta digerakkan oleh rasa, bukan logika, buta karena tak memiliki mata, tak pernah kita tahu kapan dan akan jatuh kepada siapa. Ada yang tangguh oleh luka, ada yang lebur dalam suka. Dan sebaik-baik abdi cinta adalah, manusia.

Dara, salah satu dari sekian yang cintanya kembali timbul setelah tertimbun luka cukup lama, kini tengah merasakan sejuknya angin pagi di gunung Gambir bersama Rama. Keduanya berangkat sejak subuh tadi demi melihat munculnya matahari. Untuk sejenak, memilih pergi menghindari keramaian kota bawah semesta.

Dua hari memberi kesempatan, dua hari menunggu tanpa kepastian. Kini hubungan keduanya kembali seperti semula, benar-benar semula. Setelah lama berpikir, tidak ada salahnya jika Dara menerima Rama sebagai orang lama yang baru. Menjalin hubungan yang sempat berakhir pilu, merajut benang kasih sayang atas nama rindu, memberitahu semesta, bahwa Rama dan Dara kembali bersatu.

Kembali pada sebaik-baik abdi cinta, yakni manusia.

"Aku lebih suka fajar dari pada senja, kalau kamu?"

Dara menatap Rama, lalu menjawab, "dua-duanya."

"Layaknya kamu yang memilih aku dari pada Sena, kamu harus memilih salah satu yang paling kamu suka. Jangan dua-duanya, Ra."

"Aku suka fajar juga, sama seperti kamu."

"Alasannya?"

"Karena fajar menerbitkan, sedang senja menenggelamkan. Fajar memberi cahaya, senja memberi gulita."

Rama tersenyum, lalu menggenggam tangan Dara yang dingin. "Kita masih punya persamaan ternyata."

Dara tersenyum kecil kala rasa hangat akibat sentuhan Rama menyelimutinya. "Ingin tau apa persamaan yang kita miliki dari dulu hingga kini?"

"Apa?"

"Sama-sama mencintai." Mendengar kalimat manis dari bibir gadisnya, Rama tak kuasa menahan senyum. "Tapi aku harap, kita tidak seperti fajar dan senja. Sama-sama bersifat sementara."

Rama semakin mengeratkan genggaman pada tangan Dara, lalu berkata, "kita bisa memastikannya bersama bahwa itu tidak akan pernah terjadi."

Keduanya saling melempar senyum, lalu menatap hamparan kebun teh yang diterpa sinar mentari pagi. Bagi Dara, waktu selalu berjalan cepat jika bersama Rama. Dia ingin memiliki mesin jeda sementara. Biarpun sementara, ia ingin menghentikan waktu di mana saat-saat manis dirinya dan Rama tercipta.

Semalam setelah berpikir panjang, Dara berdoa semoga apa yang ia harapkan akan dikabulkan, dan apa yang ditakdirkan semoga sesuai dengan keputusan.

Untuk saat ini, Dara ingin berlama-lama di samping Rama. Wajah manusia pemberi luka yang masih saja membuatnya jatuh cinta, wajah yang berbinar bahagia saat Dara bilang ingin membangun mula atas segalanya.

Dara tidak butuh apa-apa, Dara hanya ingin Rama selalu di sampingnya. Karena Rama adalah sebenar-benarnya utusan semesta yang dikirim untuk mengembalikan tawa yang telah lama sirna, bukan Sena.

Begitu tersadar ponselnya bergetar, Dara mendapati satu pesan singkat dari Aya yang isinya;

Finally, seperti yang aku bilang. Kamu berhasil meninggalkan Sena demi Rama. Kamu berhasil memberi luka kepada satu manusia demi manusia yang pernah memberimu luka.

***

"Hai, Ra. Es teh seperti biasa?" sapaan yang kali pertama menyambut kedatangan Dara di kafe Senandika.

Dara mengangguk, "tapi kali ini less sugar."

"Tumben?"

"Banyak tanya, udah bikin aja," jawab Dara ketus.

Tegar terdiam sesaat, lalu berdecak saat Dara mengurai tawa. "Bercanda, Gar."

"Aku pikir kamu ada masalah karena baru datang sudah bicara ketus. Dasar."

"Eh, Dinda mana?" Dara mengedarkan pandang ke sekeliling.

"Masih cuci gelas di belakang."

"Oh, ya sudah. Kalau gitu bilang ke Dinda aku tunggu di meja dekat jendela."

"Aku nggak ditunggu, nih?"

Dara terkekeh, "apaan sih, Gar," jawabnya sambil lalu berjalan menuju tempat khususnya.

Melihat itu, Tegar tersenyum dalam hati. Baru kali ini sebuah tawa ada pada bibir Dara. Untuk Bara, sepertinya kamu benar. Dara sudah menemukan alasan untuk tertawa. Dan itu bukan kamu, tapi Rama.

"Es teh kurang gula, untuk Damara Adara." Tegar meletakkan gelas di atas meja, dan segera disambut oleh senyuman Dara.

Sekelas Bara saja masih tidak bisa mencairkan hati Dara, apalagi aku. Tegar menertawakan dirinya sendiri, lalu menggeleng, harapan tidak boleh muncul kembali, ketertarikanku sudah lama tertimbun oleh waktu. Dan segala tentang kamu telah terbenam bersama warna jingga yang menjadi gulita setelah senja.

"Tegar? kamu nggak apa?" Dinda yang baru saja tiba lantas bertanya kala melihat Tegar geleng kepala.

Lantas Tegar tersenyum canggung, "tidak apa," ia menatap Dara, "silakan nikmati tehnya, aku permisi."

Usai kepergian Tegar, Dara melempar tatap kepada Dinda. "Kenapa dia?"

"Enggak tau, tadi geleng-geleng. Senam kepala kali," jawab Dinda asal.

Dara tersenyum tipis, lalu menyesap es tehnya dengan khidmat.

"Oh iya, Ra. Bagaimana? kamu terima Rama?" Dinda bertanya menggebu, dan berharap bahwa jawaban Dara sesuai dengan ekspetasinya.

"Iya."

"Tuh, kan. Aku bilang juga apa, ujung-ujungnya pasti kamu balikan lagi sama Rama."

Dara tertawa, "kamu bilang begitu seolah tau  segalanya."

"Bukan begitu, Ra. Semua teman kita juga sudah tau kalau dari dulu kamu itu cocok sama Rama, sekalipun putus nyambung. Dan kalau ada yang mampu menarik hati Rama selain kamu, sekalipun Vira, aku pastikan enggak ada yang sama persis seperti kamu. Kamu itu sudah punya tempat khusus di hati Rama, dan itu mutlak," papar Dinda segenapnya.

Mendengar itu Dara tersenyum kecil. Semoga kamu benar, dan semoga takdir memberi hadiah kecil atas pahit manis yang aku rasakan karena Rama, yakni dengan membiarkan hubungan kita berjalan dari mula.

***

Setelah cukup lama mengobrol bersama Dinda di kafe, Dara pulang dengan keadaan tenang. Setidaknya dia mendapat kabar baik bahwa Dinda sangat mendukungnya agar kembali bersama Rama. Perihal Aya? Sepertinya Dara harus mencari cara untuk meyakinkan Aya bahwa Rama adalah arti bahagia yang sesungguhnya, agar Aya tidak melulu menentang hubungannya dengan Rama dan lebih memilih Sena.

Mengingat lelaki nekat satu itu, dengan tiba-tiba Dara merindukan sosok Sena. Sudah lama sekali rasanya tidak bertemu dengan Sena. Mungkin hatinya benar, bahwa Rama adalah utusan semesta yang sesungguhnya.

Meski begitu, Dara tidak akan pernah lupa seperti apa perjuangan Sena demi mengembalikan tawanya. Karena bagaimanapun, segala sikap Sena memang tak pernah bisa terlupa. Dara akui bahwa Sena adalah lelaki tanpa kenal kata menyerah, dan belum genap satu bulan sudah berhasil membuatnya tersenyum.

Yang mengenalkan seperti apa dunia setelah semua dianggap lebur dalam duka, yang memberi materi melalui perjuangan segenap hati, yang mengajarkan bahwa sedalam apapun luka maka tawa adalah obatnya, hanya Sena.

Selalu ada pesan di setiap pertemuan.

Usai keluar dari kamar mandi dengan handuk di kepala, Dara berjalan meraih ponsel yang baru saja berdenting. Dengan segera membaca pesan masuk dari manusia yang baru saja ia pikirkan;

Dara, jika ada waktu saya ingin mengajakmu. Dan kalau kamu tidak mau, anggap ini sebagai permintaan terakhir sewaktu tantangan memakan sushi, ingat?

Kalau ini permintaan terakhir, kamu tidak akan menolak bukan?

Oke, sebentar lagi saya ke sana.

Dari Semesta untuk Dara [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang