"Sora."
"Untuk apa menghubungi? Kau seharusnya sedang dalam perjalanan pulang, Jungkook."
Kikihan Jungkook tersiur halus, menggelitik perut hingga akar teresens. "Tidak apa-apa. Aku kebosanan. Lagi pula, sekarang aku memakai sopir."
Sora, dara cedayam yang anteng menunggu di kamar bersama kaki sila, menganggut-anggut maklum. "Ya, aku mengerti."
"Mari kita mengobrol. Ya, Sayang?" tawar Jungkook. Ia tersenyum di pojok kata.
"Tentang?"
"Sweet nothings. Small talk. Sorta thing. You up, Babe?"
Jungkook bisa meraba senyum malu Sora dari cara si anak gadis berujar subtil, "Sure."
"Kutebak, mukamu sedang merah sekalii, ya, sekarang?"
"Tidak lucu, Kook!"
Mereka tertawa seakan mendominasi dunia di bawah tumit bumantara yang sama. Compes yang Sora rasa dirembes habis oleh tiap birama dari manifestasi semaraknya seorang teruna Jeon, membantu segaris benak mungil bereboisasi. Sora memanjangkan leher. Dari jendela yang ia tatapi lekat-lekat, terdapat kesuaman petang. Ia rindu Jungkook untuk pulang.
"Kau ingin memulainya, atau tidak?" tanya Sora berurut sebelah alis yang melambung heran.
"Okay." Decap bibir Jungkook memenuhi rungu dalam satu sekon. "Try to consider me something."
"Maksudmu?"
"Seperti, apakah ada orang dalam hidupmu yang mirip denganku? Jika iya, siapa? Dan mengapa, atau bagaimana?"
Pendingin ruang makin menggelitik. Merapatkan ponsel, Sora menemukan pertanyaan tersebut tersibak menarik.
"Jeon Jungkook, ya .... Sebentar." Jeda dari Sora membentang selagi ia lunturkan gerak jemala menuju buntalan bantal-bantal empuk. "Kau sepertinya mirip kakekku."
Di seberang, dahi Jungkook mengerut dengan mulut kerucut. "Aku tidak setua itu."
"Hahaha. Bukan, maksudku, ketulusanmu sama seperti kakekku. Malahan, aku sangat menghormati beliau dibanding ayah. Ia menghargaiku sebagai perempuan. Membuatkanku teh sehabis pulang, mengurut punggungku, mengajariku arti dari hal-hal kecil, dan memastikan aku bisa tidur cendera sebelum pukul sepuluh malam. Bukankah itu romantis?"
"Tidak terdengar seromantis diriku."
"Ya sudah, terserah." Sora melontar umpan balik, "Kalau begitu, bagaimana denganmu? Apa aku menyerupai seseorang yang pernah kaukenal?"
Interval yang berlangsung layaknya pelukan terlama di bandara. Alis Sora mengelambur akan detik-detik yang bertambah, menceracau tik tik dengan jelas tanpa satu pun kata memadai. Ia menanti dengan kepala meneleng, pandangi langit-langit kamar yang tampak lebih tinggi daripada waktu reguler.
Kemudian suara Jungkook terbit perlahan, "Tidak. Tidak ada. Sama sekali tidak."
Sora melongo. "Kenapa?"
"Kau satu-satunya, Sora. Kau hal terbaru dalam hidupku." Hela napas. "Untuk itu, aku berterima kasih." Jungkook berhati-hati tatkala melafalkannya, terbawa arus deras aliran momen demi momen gering; kerapuhan sang dara tidak pernah jadi santapan sadu. Pria itu senantiasa beranggapan bahwa Sora adalah wanita dewasa yang pantas disanjung-sanjung. Sora hanya korban kemalangan dari pelaku bernama ketidakadilan nan adil. Semata-mata dara itu mampu merengkuh tubuh repihnya sendiri, menanti-nanti sesuatu terjadi kendati ia terjatuh ke langit tanpa rona jernih.
"Kook─a-aku ... aku t-tak bisa ..."
"Tidak apa-apa, Sora. Kau tidak perlu memaksa mengatakannya." Nada Jungkook intimidatif dengan cara yang khusyuk serta berangin lembut. "Cukup dengarkan aku."
Sora mengangguk dalam-dalam tanpa dapat Jungkook tangkap.
"Aku tidak pernah mengenal orang seluar biasa dirimu dan aku tidak bisa mencari-cari lalu menunjuk langsung seseorang yang mengingatkanku kepadamu karena itu mustahil. Mustahil jika kau yang terbaik. Kau mengubah hidupku, Sora. Setiap penderitaanmu merupakan inspiratorku yang paling bersih. Barangkali sulit bagimu menyadarinya lantaran matamu harus sekali-kali fokus pada seberapa besar perjuanganmu selama ini tanpa melihat yang lain. Aku ... menyayangimu."
"Kook .... Terima kasih." Sora apatis terhadap kantong pelupuk kecil yang menganak sungai; begitu pun rangkap pipi lembap. "Aku bersyukur bisa menjadi bagian dari hidupmu─dan aku juga menyayangimu. Sama besar." [R]
KAMU SEDANG MEMBACA
remarking twinge
Fanfic[convo fic #1] setiap petang anak dara itu bercakap dengan si adam yang memberinya pelipur lara.