Bab 2

1.8K 153 12
                                    

Di dalam sebuah ruangan, seorang lelaki merenung sendirian. Di kepalanya masih terbayang kalimat-kalimat tidak mengenakkan. Tentang pembatasan mimpi, tentang penghinaan bahkan komentar pedas terang-terangan yang menyangkut kegemarannya. Ia lelah dengan semua omong kosong yang sejujurnya tidak ingin ia tanggapi. Mau bagaimana lagi, mungkin Tuhan benar-benar sedang menguji kekonsistenannya dalam berjuang.

Hidupnya tak jauh berbeda dari sosok yang paling ia kagumi, Vincent Van Gogh. Seorang seniman berkebangsaan Belanda, kelahiran Zundert 1853. Meskipun dinyatakan 'gila', perjuangan Vincent untuk terus melukis tidak main-main. Banyak yang bilang karyanya jauh dari kata estetik, malah tampak mengerikan, menyalahi aturan seni. Tapi, apa yang dilakukan Vincent? Lelaki pengidap penyakit mental itu tetap berusaha tenang dan menyalurkan setiap emosinya melalui lukisan.

Pun juga Ian. Lelaki yang hidup sejak dua puluh empat tahun lalu itu adalah pecinta seni. Semua berawal sejak pamannya, Rudi, mengajaknya mengunjungi sebuah exhibiton milik temannya di daerah Kemang. Dari sana pula, Ian yang berumur sepuluh tahun mengenal Starry Night. Lukisan dengan pemandangan langit malam berbintang yang dilukis Vincent dari jendela kamarnya di rumah sakit jiwa Saint-Remy pada tahun 1889. Tentu saja itu hanya imitasi karena yang asli telah terpajang apik di Museum of Modern Art, New York City.

Gairah, keserakahan dalam menyerap ilmu dan setiap informasi mengenai sang idola, membuat Ian kecil berambisi untuk menjadi seorang pelukis juga. Namun, semua impian itu harus kandas sejak kedua matanya mengalami kerusakan akibat sebuah kebakaran yang membuatnya kini tak dapat melihat. Ian begitu terpukul, di usianya yang masih anak-anak, ia terpaksa menghentikan pendidikan formalnya dan mulai menjalani pendidikan layaknya orang buta.

Kembali menghadapi realita, Ian benci terus mengingat soal masa lalu. Setiap detail yang terlintas di pikirannya terasa menyayat hati. Ia sudah cukup keras mencoba untuk melupakan, membiarkan segala memori gelap itu menguap bak embun pagi. Tapi nyatanya, pasti akan balik lagi. Toh, ia juga tak dapat memungkiri bahwa apa yang bisa ia torehkan di atas kanvas itu tetap berdasarkan tumpukan kenangan masa kecil yang abu-abu.

Ian melemaskan remasan jarinya pada kuas yang sejak tadi ia genggam. Percikan warna cat bertebaran di mana-mana, berantakan, kocar-kacir tidak karuan. Dari pelipisnya, mengalir butiran-butiran bening hasil memeras pikiran. Mata Ian terpejam rapat, kemudian mulai melonggar dan membuka menunjukkan sorot kesedihan.

Tak lama kemudian, suara lonceng yang sengaja dibunyikan membuatnya terkejut. Bukankah tadi Paman Rudi bilang akan pergi ke luar untuk membelikannya peralatan melukis yang baru? Tapi, kenapa ia kembali lagi ke rumah, padahal masih berselang sekitar lima menit yang lalu sejak kepergiannya.

Ian yang merasa curiga pun mulai bergerak dengan hati-hati. Ia keluar dari kamarnya dan menuju ke sumber suara. Belakangan ini, banyak sekali kabar beredar soal perampokan. Terlebih, ia tinggal di Jakarta, kota iblis tempat para penjahat berkumpul.

Tangan Ian meraba-raba di dekat pintu, hendak menemukan peralatan yang mungkin akan membantunya mengusir penjahat itu. Akhirnya, ia menuruni tangga dengan membawa sebuah vas bunga yang terbuat dari keramik, yang tentunya cukup keras untuk melumpuhkan siapapun yang berani memasuki batas teritorialnya tanpa izin.

Sesampainya di tangga terakhir, Ian terdiam. Ia menggunakan telinganya untuk mengetahui di mana posisi orang yang baru datang itu. Ia pun mendengar suara langkah kaki yang begitu jelas, kepalanya mulai condong ke arah kanan. Ketukan suara sepatu itu semakin terdengar—mendekat. Tidak tahu kenapa, Ian kini berubah menjadi pucat. Seandainya ia bisa melihat, mungkin sudah dihajar habis penjahat itu. Sebaliknya, ketidakmampuan melihat membuatnya tidak tahu bahwa mungkin saja ada lebih dari satu orang yang kini sedang menyusup di rumahnya.

Tangan Ian agak berkeringat, juga bergetar. Suara langkah kaki itu berhenti. Entahlah, mungkin berada di sekitarnya, atau lebih parahnya malah sedang berdiri tepat di hadapan Ian dengan tatapan mengejek. Ia tidak tahu, namun dengan berani, mulutnya mulai mengeluarkan pertanyaan meski terdengar sedikit menggumam, "Siapa?"

"Hai, aku Fio. Mau menjadi teman?"

***

Kutuklah kebodohan yang sedang Fio lakukan! Kenapa ia harus masuk rumah orang tanpa izin dan bergerilya di sana seperti seorang maling? Bukan salahnya juga. Ia sudah mengetuk pintu berkali-kali, meneriakkan kata "permisi" dan tak menemukan siapapun untuk membukakan pintu.

Karena lelah menunggu, Fio iseng mengutak-atik knop pintu dan boom! Itu langsung terbuka. Godaan untuk berjalan lebih masuk pun tak bisa dihindari. Faktanya, rumah itu tidak hanya unik di luar, tapi juga unik di dalam—membuat Fio tertarik seperti besi pada magnet.

Fio menemukan banyak lukisan di dinding-dinding rumah, juga aksesoris menarik, patung-patung, pahatan dan juga ukiran. Mulutnya tak berhenti menganga, matanya melotot lebar mengagumi pemandangan luar biasa yang belum pernah ia temui sebelumnya. Rumah itu benar-benar tepat dijadikan pendingin pikiran.

Menyadari seseorang berjalan turun dari lantai atas, membuat Fio sedikit panik. Ia bergerak cepat mencari tempat persembunyian. Namun, setelah tahu bahwa yang turun adalah lelaki itu, Fio memberanikan diri mendekat. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk senyuman. Akhirnya, dipertemukan juga. Fio tidak salah, lelaki itu memang yang selalu ia pandang dari balik dinding kaca ruang kerjanya. Si lelaki pelukis yang ternyata seorang tuna netra.

"Siapa?" tanya pria itu tegas tapi sedikit tidak jelas.

"Hai, aku Fio. Mau menjadi teman?"

Bodoh! Apa yang kamu lakukan ini, Fi? Sudah lancang masuk ke rumah orang, terus sekarang memberikan pertanyaan konyol apakah dia mau menjadi temanmu. Kamu memang tidak waras! Racau Fio dalam hati sambil kedua tangannya tidak berhenti menepuki pipinya sendiri.

Suasana pun mendadak hening. Lelaki itu tak bergeming, membuat Fio menjadi kebingungan.

Hingga ... brak! Suara hantaman benda keras yang menyentuh meja akhirnya menyadarkan Fio dari lamunan. Rahang lelaki itu mengetat, menampakkan urat-urat lehernya yang begitu kencang. Fio meneguk ludah, ada sedikit rasa khawatir yang menghampirinya.

"Keluar!" teriak lelaki itu singkat, namun begitu pedas.

"Keluar sebelum saya panggil polisi!" tambahnya lagi.

"T-tunggu, ini saya ... kamu nggak inget?" ujar Fio berharap lelaki itu bersikap lebih manis.

"Saya nggak sudi ngobrol sama penyusup. Cepat pergi!"

"T-tapi ...."

"Sialan!"

Kali ini, lidah Fio menjadi kelu. Tidak ia sangka, bahwa sifat lelaki itu memang menakutkan. Sekarang pun lengan Fio dicengkeram erat. Ia diseret keluar oleh lelaki yang tidak bisa melihat. Lagi-lagi Fio merasa takjub, bagaimana lelaki itu tahu di mana letak pintu? Tentu saja, ini adalah dunianya. Lelaki itu pasti sudah terbiasa berjalan keluar masuk rumah, membuatnya lebih peka terhadap letak sesuatu yang penting, seperti pintu.

"Tunggu, kenapa kamu kasar banget? Aku kan cuma mau jadi temenmu," pinta Fio tepat saat tubuhnya berada di luar rumah.

"Aku tidak butuh teman," jawab lelaki itu seraya menutup pintu dengan sangat keras. Fio melonjak kaget untuk sesaat.

"Yah, padahal aku cuma pingin jadi temennya doang. Emang salah, ya?"

Tidak untuk hari ini, Fi. Mungkin, besok dia akan sedikit terbuka denganmu.

Mari coba lagi besok!

***

Imperfection ✔ #ODOCTheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang