Lagi, langit senja berhasil membuatku tenang. Dan lagi-lagi aku nyaman mencurahkan segala perasaanku pada senja dan memahami setiap guratan-guratan langit yang seakan menjawab hatiku dalam diamnya. Aku kembali mengangkat kameraku dan mengambil beberapa foto.
Melihat langit dan senja menjadi hobbyku sejak kecil. Ada hal yang sangat menarik dari langit, senja dan awan yang membuatku sangat mengaguminya. Pikiranku pun kembali mengingat alasan mengapa aku mau menghabiskan waktuku untuk memandang langit. Hatiku kembali berdesir, "ah manisnya" batinku.
"Anyaaaaaa, capek ya gue bilangin elo. Stop ngelamun di atap atau deket jendela!" teriak Ana.
"Lo lebay Na, gue cuma diem di sini dan bahkan jarak gue sampe di pinggir atap tu jauh banget, ya kali gue bakal loncat. Lagian rugi kan gue mati sekarang, sedangkan utang-utang lo ke gue masih belom lunas" jawabku sambil menggodanya.
"Nyaa, kalo gue dah sukses, semua utang gue ke elo bakal lunas 3 kali lipat" dan itu jawaban Ana yang ngga pernah berubah sampai sekarang.
"Yuk pulang, lo udah selesai latihan kan? Gue juga udah dapet beberapa foto yang bagus kok disini" ajakku
"Yuk Na!, lo tunggu di lobby ya, gue ambil seragam dulu di kelas" sahutnya. Dan kita pun sama-sama turun, dia ke kelas dan aku menunggu di lobby.
Ana Ariella, dia satu-satunya teman yang sudah kuanggap sebagai adikku sendiri. Dia lahir tepat 2 hari setelahku dan kita jadi teman entah sejak kapan, bahkan dari kecil sampai sekarang pun kita masih bertetangga. Playgroup, TK, SD, sampai sekarang SMA kita masih satu sekolahan dan bahkan tempat duduk kita selalu berdampingan. Dia tomboy dan andalan sekolahku dalam lomba karate. Makanya tak ada yang berani bermasalah denganku karena tau bagaimana sifat Anna yang akan membelaku habis-habisan, dia ngga akan memberi ampun sampai lawannya minta ampun.
"Woy, ngelamun lagi lo. Heran gue kapan sih suka banget bengong. Kesambet lo sukurin dah" dia menarikku keluar dari gerbang sekolah. Aku hanya tersenyum, dan mengikutinya.
"Eh Na, lo liat deh gue tadi dapet foto beberapa. Menurut lo bagusan mana yang ini atau ini?" sambil menunjukkan kameraku pada Ana
"Hmm menurut gue niih, bagusan ini sih. Warna langitnya ga gelap banget tapi ga terang juga. Pantes aja ya lo masih suka nunggu gue latihan karate, biar dapet nangkring di atap terus mandangin langit ya. Ga berubah deh lo"
"Lo tau aja Na, btw thanks pendapat lo tadi. Gue rencana mau ikut lomba fotografi akhir bulan ini, masih ngumpulin foto-foto yang bagus sih buat gue daftarin lomba. Salah satunya foto langit tadi"
"ohh, berarti kalo lo menang gue dapet komisi dong? Gue kan udah ngasih saran foto tadi hahaha" dan aku hanya mengangguk asal sambil menoyor kepalanya. Dan kami kembali menyusuri trotoar sambil terus bergurau.
Sampai di rumah, aku berniat langsung ke kamar untuk beristirahat dan mengedit foto. Tapi sekilas kulihat di ruang tengah sedang banyak orang, dan Ibu yang menyadari kepulanganku mengajakku untuk ikut bergabung.
Aku melihat disana ada Ibu, ayah, nenek, kak Waira dan kak Bagas kakak iparku. Aku duduk diantara nenek dan ibu. Sudah lama aku tak melihat nenek dan kak Waira ke rumah. Setelah sejenak menyapa mereka, ayahpun mulai bersuara.
"Franya, nenek datang jauh-jauh kesini mau memintamu melakukan sesuatu. Kamu tau kan, nenek tinggal sendiri di Perth sejak pamanmu meninggal sebulan lalu?" aku mulai tak mengerti arah pembicaraan ayah. "Lalu apa hubungannya denganku?" Batinku.
Ayah melanjutkan pembicaraannya, "Makanya nenek ingin kamu ikut dengannya. Ayah udah bicara tadi dengan kepala sekolahmu dan beliau bilang kamu sudah bebas sejak UAN, dan kamu boleh ikut nenek. Ayah akan daftarkan kamu di salah satu universitas disana. Ayah minta tolong kamu nurut sama keputusan ini ya, nenek hanya punya kita saat ini"
Aku diam sejenak, menatap Ayah, Ibu dan semua orang yang ada di ruangan ini bergantian. Aku memang bukan anak yang berani melawan orang tua dan kali ini aku mengerti bahwa hanya aku yang menjadi harapan kedua orang tuaku untuk menemani nenek di Perth. Tapi ini bukan keputusan yang mudah, meninggalkan semua hal yang aku biasa lakukan disini, meninggalkan Ana dan semuanya. Berat namun harus. Apakah sekali lagi aku bisa menolak? Jelas tidak.
Aku menghela nafas "Baiklah, aku mengerti situasi ini. Tapi bolehkah aku memilih sendiri jurusan yang aku inginkan dan tetap berada di Indonesia sampai masa perkuliahanku di mulai disana?"
Semua anggota keluargaku menanggapi setuju dengan permintaanku barusan. Setelah memeluk nenek dan berpamitan, aku segera ke kamar.
Sebenarnya, aku masih berat hati dengan kondisi ini. Kuliah di Perth memang menjadi salah satu cita-citaku semenjak kecil. Tapi, sudut hatiku berkata yang lain. Semenjak aku bertemu dengannya.
Hei, bagaimana aku tidak sendu. Dia adalah sosok yang benar-benar masuk ke semua wishlistku akan cowok. Secara fisik ngga bisa dicela, apalagi otak yang jelas-jelas pada usia yang sama dia sudah mampu kuliah di tahun ke dua. Akselerasi. Dan terpenting, dia selalu saja memukau lewat foto-foto di setiap pameran.
YOU ARE READING
Langit
Teen FictionCerita kehidupan remaja yang dibuat dengan sangat ringan, mungkin.