Part 1

32 1 0
                                    

Kicauan burung dan sinar matahari yang menelusup pada jendela seorang gadis berumur 17 tahun ini tak membuatnya terusik sedikit pun. Ia terus menyembunyikan wajahnya dibalik selimut meskipun alarm sudah merengek minta diperhatikan. Teriakan sang ibu pun tak ampuh untuk membangunkan gadis ini dari tidur cantiknya. Namun, satu hal jitu yang dapat membangunkannya dari penjara mimpinya itu, Ginger. Ya! Ginger adalah seekor anjing peliharaan gadis ini. Ginger mempunyai tugasnya setiap pagi untuk membangunkan Ellena.

Gadis dengan mata cokelat ini memiliki nama lengkap Ellena Washington, bukan berati dia terlahir di negeri Paman Sam sana. Ia diberi nama Ellena Washington karena sang ibu sangat terobsesi agar ia menjadi orang yang sukses disana. Tapi entahlah, Ellena merasa tak pantas untuk meraih impian sang ibunda.

"Ellena! Cepat bangun" teriakan sang ibu menggema memenuhi penjuru kamar Ellena. Tentu Ellena tak menggubrisnya sama sekali, yang ia inginkan adalah memejamkan matanya lebih lama lagi. Sedangkan, Ginger terus menjilati wajah Ellena dan terus mengusiknya agar Ellena bangun.

"Ellena! Kamu tidak dengar ? cepat bangun! Kamu akan terlambat sekolah"

"Iya, Bu" dengan langkah gontai dan mata yang masih setengah tertutup, Ellena melangkahkan kakinya menuju kamar mandi untuk melaksanakan ritual pagi seperti biasanya.

Rumah bak istana ini memang impian sebagian orang. Tapi, mereka tak pernah tahu bagaimana dan apa yang sebenarnya terjadi didalamnya, suasana dingin sangat-sangat terasa disini meski bagi pendatang baru sekali pun. Bukan berati, saat ini adalah musim dingin ataupun karena suhu AC yang sangat rendah, tapi memang disinilah semuanya terasa hampa dan kosong. Itulah yang dirasakan keduanya sejak mendiang sang ayah yang telah meninggal dua tahun silam. Tak ada tawa, tak ada candaan, tak ada sapaan, tak ada kehangatan dan, yang paling mereka rasakan adalah kehilangan seseorang yang selalu membangun semua itu. Semuanya berubah sejak saat itu, dan Ellena benci itu.

"El ! cepat turun, sarapanmu sudah siap!" suara itu berasal dari Merina –ibu Ellena-.

" Iyah, Bu, Ellena turun"

Ellena dengan hati yang masih sama seperti dulu "kosong" berjalan menuruni anak tangga untuk sarapan bersama sang ibu. Sarapan dengan kesunyian seperti biasanya, itulah yang telah mereka rasakan dua tahun ini. Entah apa yang mereka pikirkan selama satu tahun ini, sedih ? tidak, mereka pun berpikir tak seharusnya berlarut dalam kesedihan seperti itu. Lantas apa? Yang mereka rasakan hanya sebuah penyesalan dan ketidak adilan atas kehilangan orang yang mereka sayang. Hanya itu, ya hanya itu.

"Bu, aku berangkat" Ellena pun beranjak dari tempat duduknya dan mencium punggung tangan sang ibu untuk pamit pergi ke sekolah.

"Iyah, hati-hati ya sayang"

***

Bel istirahat berbunyi nyaring seantero sekolah, dan bagaikan panggilan surga bagi seluruh siswa. Namun, sialnya kini Ellena harus terjebak oleh Bu Tria yang merupakan guru terkiller sesekolah ini. Memang nasib malang telah menimpanya hari ini, ia terlambat masuk saat pelajaran Bu Tria dan lagi tugas yang diberikan beliau minggu lalu belum ia kerjakan satu pun. "Mati saja kau Ellena!" itulah kutukan yang sedari tadi ia keluarkan dalam hatinya.

Tentu saja ia kesal karena kemalangannya hari ini, belum lagi hukuman yang diberikan Bu Tria membuatnya ingin mengakhiri hidupnya dengan buku-buku sialan ini. Ya, hukuman untuk Ellena adalah membereskan buku yang ada di perpustakaan dan memberikannya nomor satu persatu. Bayangkan ! hampir setengah buku yang ada di perpustakaan ini harus iya bereskan dan beri nomor ! "Oh Tuhan bolehkah aku membotaki kepala Bu Tria!" itulah sumpah serapah yang ia keluarkan, tentu didalam hatinya.

"Ellena, setelah semua yang ini selesai tolong bereskan dan beri nomor lagi buku yang ada di ruangan sana"

Ellena sedikit terkejut dengan perkataan sang gurunya ini, "Apa, Bu? Masih ada? Yang benar saja, aku harus masuk kelas, Bu !" entah muka apa yang Ellena tampakan sekarang, memelas bercampur kesal.

"Berhubung jam pelajaran kamu sekarang Pak Hardi, dan beliau tidak bisa masuk kelas lalu Pak hardi menitipkan kelasnya pada Ibu, jadi tidak ada alasan lagi untuk mengelak Ellena Washington!"

"Iyah, Bu" pasrah Ellena.

"Oke, sekarang kamu bereskan yang ada di ruangan itu, Ibu akan mengecek kelasmu sebentar."

Dengan langkah yang malas Ellena memasuki ruangan yang bertuliskan "Ruang Buku Khusus". Apapun nama ruangan itu ia tak peduli, yang Ellena inginkan sekarang cepat terbebas dari kutukan sang guru buas ini. Dengan rasa kesal yang membuncah dalam hatinya, hingga membuka pintu ruangan itu ia banting sampai terdengar suara bantingan yang cukup keras.

"Oopss," Ellena meringis atas suara gaduh yang ia timbulkan "Maaf ya Bu gak sengaja" ia pun memasuki ruangan itu yang sedikit gelap. Hawa dingin langsung menyerang kaki jenjangnya dan tangan Ellena saat masuk semakin dalam ke ruangan ini. Entah ini hanya perasaan Ellena saja atau mungkin memang benar ia merasa tidak sendiri di ruangan ini.

"No, no, tenanglah Ellena tidak ada apa pun disini hanya ada kau dan buku-buku menyebalkan ini" batin Ellena sambil berdecak sebal melihat tumpukan buku-buku tebal yang tersusun rapi dalam rak besar. Dengan sedikit tergesa ia langsung mengambil beberapa buku yang akan ia nomori dan memulai menomorinya satu persatu.

Sepuluh menit sudah Ellena tenggelam dalam pekerjaannya. Ia sudah tak memperdulikan lagi pemikiran negatifnya tadi, yang ia inginkan sekarang adalah pekerjaan nya selesai dan pergi dari tempat ini. Namun, entah kenapa suasana di ruangan ini semakin berbeda dan aneh. Hening dan gelap semakin menyergap Ellena. Juga hawa dingin itu kini semakin menyelimuti seluruh tubuh Ellena memberikan rasa hangat namun dingin.

" Aku harus pergi !" dengan tergesa ia segera melangkah pergi, namun belum sempat ia keluar dari ruangan ini, pintu tersebut terbanting begitu keras menimbulkan suara gema yang begitu mendengung. Jantung Ellena berdetak begitu cepat melihat kejadian aneh itu, jelas-jelas tidak ada satu orang pun selain dia diruangan ini, angin ? tidak mungkin akan membanting pintu sekeras itu.

"Siapa pun itu keluarlah!" dengan kaki bergetar ia mencoba melangkah mendekati pintu. Seketika tubuh Ellena menegang saat rasa hangat tiba-tiba menjalar di seluruh tubuhnya, deru napas seseorang terdengar jelas di telinganya. Entah siapa orang itu, namun rasanya kini ia seperti sedang dipeluk oleh seseorang dari belakang.

"Ku mohon jangan ganggu aku," Ellena begitu ketakutan, tubuhnya bergetar hebat kala ia melihat seisi ruangan ia tak menemukan seorang pun. "Biarkan aku pergi, aku tak menggangumu disini" lalu dengan sedikit berlari ia menghampiri pintu dan memutar handle pintu. Namun, pintu itu terkunci.

"Tolong..! siapapun tolong buka!" Ellena menggedor pintu terus menerus dengan sekuat tenaga. Tapi malangnya tidak ada seorang pun yang membuka pintu tersebut, mengingat ruangan ini berada di ujung dari perpustakaan. Jadi, kemungkinan penjaga perpustakaan pun tidak bisa mendengar suara gedoran pintu yang terbuat dari kayu jati itu. Kini Ellena hanya bisa pasrah, dengan rasa takutnya yang semakin menjadi hingga kakinya pun tak mampu menopang lagi tubuh kecilnya. Ellena terduduk lemas sambil memeluk kedua kakinya.

"Jangan ganggu aku," isakan tangis pun tak mampu Ellena tahan lagi. Ia sungguh ketakutan dengan apa yang telah terjadi dihadapannya. "Biarkan aku pergi dari sini" ia menenggelamkan wajahnya pada kedua lututnya.

Seolah membalas perkataan Ellena, tiba-tiba angin berhembus cukup kencang membuat Ellena semakin mengeratkan pelukan pada kedua kakinya, dan dengan tanpa aba-aba seluruh lampu yang ada di ruangan ini pun menyala satu persatu seperti diperintahkan. Isakan tangis Ellena semakin keras, kini ia hanya bisa merapalkan doa saja agar segera terbebas dari gangguan makhluk yang entah Ellena pun tidak tahu makhluk apa ini.

Ruangan yang awalnya temaram karena hanya satu lampu yang dinyalakan kini dalam hitungan detik saja sudah menjadi terang benderang. Semua sudut ruangan ini kini menjadi terlihat. Dengan rasa penasaran becampur dengan ketakutan, Ellena memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya. Baru seperempat Ellena mengangkat kepalanya, ia melihat sepasang kaki yang terbalut sepatu converse sedang berdiri menghadap kearahnya. Ellena sangat-sangat terkejut, hingga aliran darah ke otaknya seakan berhenti dan tiba-tiba semuanya menghitam. 

**

this is my second story, hopefully you can enjoy for this. happy reading guys. don't forget to vote and comment. see u for the next part :)

You Lit Me UpWhere stories live. Discover now