Lelah bukan alasan untuk berhenti. Lelah hanyalah alarm bahwa ada perjuangan panjang yang baru saja dilewati. Aku berhenti sejenak. Menghela napas. Menegaskan diri. Lalu meneruskan perjalanan sampai ke titik akhir. Sebab sebanyak apa pun upaya melepaskannya selalu ada alasan untuk kembali menemukan dia. Langkah kaki telah menuntunku dan banyak hal telah kupertaruhkan. Beberapa bagian hidup bahkan sengaja kutinggalkan. Bukankah kita memang harus percaya, bahwa semua usaha keras memperjuangkan perasaan adalah bentuk jatuh cinta.
Angin yang berembus kencang, menerbangkan tinggi sebuah pesawat kertas. Terbang di tengah langit nan biru dihiasi awan-awan putih seperti permen kapas. Terus melaju lurus lalu menukik tajam ke arah dahiku yang sedang bersandar pada tubuh pohon di tepian danau dan menyadarkan dari lamunan.
"Eh, pesawat kertas."
Aku menoleh ke sekeliling, tak ada siapapun. Hanya aku.
"Siapa gerangan yang menerbangkannya?" tanyaku dalam hati.
Sejenak teringatkan akan masa laluku bersamanya. Anggada Cendana. Sahabat masa kecilku. Namanya seharum pohon-pohon Cendana yang berdiri rapih dipinggiran jalan menuju rumahnya. Aku pun mulai beranjak dari rindangnya dedaunan yang memayungi ku. Masih terasa begitu hangat dalam ingatanku, akan sebuah kenangan masa itu. Dia itu seperti magnet yang kuat, menarikku untuk kembali padanya.
Langit mulai menghitam, aku bergegas pulang. Di sebuah apartemen, aku tinggal seorang diri sembari menunggu kepulangan Ayah dari tugasnya sebagai dokter di Inggris. Sampai sekarang aku masih terbayang akan sosoknya yang pemberani dan lugu.
“Kira-kira seperti apa ya sosoknya sekarang.” tanyaku pada cermin.
Oh ya, namaku Violence Christy. Aku lahir di Perancis namun besar di Indonesia. Aku selalu menutup diri dari dunia luar sepeninggalnya Ibuku. Aku begitu serius dengan duniaku sampai lupa kalau masih ada dunia yang lebih besar dan luas di luar sana. Sampai suatu ketika Ayah mengajakku berjalan-jalan disekitar komplek. Aku begitu takjub dibuatnya. Suasana yang nyaris tidak kuketahui padahal ada begitu dekat denganku.
Aku masih ingat saat pertama aku bertemu dengannya. Waktu itu ketika aku dan ayah berhenti di sebuah persimpangan, dia datang dan langsung mengulurkan tangannya kepadaku. Sontak aku yang terkejut berlari menghampiri ayah dan bersembunyi di belakangnya. Dengan senyum, dia masih saja mengulurkan tangannya itu. Ayah berusaha meyakinkanku kalau dia hanya ingin berkenalan dan berteman denganku saja. Tidak ada maksud lain. Tapi, tetap saja aku masih merasa ragu. Dengan perlahan dan agak gemetaran aku berusaha menyambut uluran tangannya. Tiba-tiba saja dia menyambar tanganku, tanpa berpikir panjang dia berlari sambil menggenggam tanganku.
Dia masih saja tersenyum kepadaku, seketika raguku mulai runtuh perlahan-lahan. Akhirnya kita tiba di sebuah danau yang berwarna biru kehijauan dan satu pohon yang berdiri tegak ditepinya. Dengan daun-daun yang rindang dan serasa begitu menyejukan. Dari tasnya dia mengeluarkan sebuah buku catatan yang dipenuhi dengan gambar ilustrasi yang sangat bagus. Dia merobek lembaran yang masih kosong.
“Nah, ayo tuliskan sebuah janji.” katanya sambil menyerahkan selembar kertas yang baru saja di sobeknya.
“Janji?” jawabku bingung.
Akhirnya kita memutuskan membuatnya bersama lalu dia melipatnya dan menjadikannya sebuah pesawat kertas. Dia memberikannya padaku dan aku pun melemparkannya ke udara. Pesawat kertas itu terbang di atas danau dengan cerminan langit cerah yang begitu mencolok. Lalu kita berdua pun bersandar dipohon tepi danau itu dan menuliskan nama kita berdua. Setelah hari itu dia selalu datang ke rumahku untuk sekedar bermain, bersenda-gurau, dan masih banyak hal lainnya yang hanya aku dan dia saja lakukan.