Bab 3: Makam Pangeran Sinatria Wiriadikesumah

66 1 0
                                    

         Menjelang senja ketika Wira dan Kirana sampai di luar sebelah barat Kota Alengka.  Hutan sancang.

        Sinar warna jingga menyoroti pepohonan yang rimbun di kota tersebut menimbulkan komposisi warna unik dari warna jingga, kuning dan hijau berbaur dengan cantiknya. Langit  berwarna gradasi warna jingga ke biru membuat lukisan semesta yang begitu indahnya.  Ditambah suara burung-burung yang kembali ke sarang menimbulkan sensasi tersendiri.  Sesaat Kirana terpesona sehingga lupa akan tujuan datang  ke hutan ini

        Sayup-sayup terdengar  suara bentrokan senjata,  Wira dan Kirana tersentak. Mereka langsung mengerah ilmu meringanka tubuhnya menuju ke sumber suara.  semakin mereka masuk kedalam hutan semakin jelas suara-suara tersebut dan samar-samar mulai tercium bau darah.

         Di tengah Hutan Sancang terdapat komplek Candi kecil terbuat dari granit biru langit, berbeda dari candi umumnya terbuat dari batu candi abu-abu tua. Candi yang penuh ukiran indah. Di sela-sela pepohonan, sinar senja menyinari candi tersebut menimbulkan pantulan warna-warna lembut.

        Wira melirik Kirana. Kirana mengangguk.  ini pasti makam Pangeran Sinatria! Apalagi suara pertempuran terdengar sangat jelas dan bau darah semakin tercium. tanpa buang waktu merekaberlari  masuk ke kompleks candi.

        Di kompleks Candi terdiri dari 3 Lantai. Lantai dasar  terdapat 2 candi kecil yang mengapit jalan masuk yang menuju tengah candi.  Jalan itu terbuat dari batu adesit abu muda yg dibentuk kotak-kotak kecil. Tempat dimana para pengawal menunggu keluarga kerajaan melakukan ritual keagamaan. Lantai kedua adalah lapangan yang dipakai ritual keagamaan terbuat dari batu granit hitam mengkilat dengan gambar mandala di tengah-tengah. Dari kiri kanan terdapat pancuran batu granit biru langit yang berbentuk kepala Jatayu untuk mensucikan diri.  Sedangkan Candi utama terdapat di lantai paling atas tempat diman abu jenazah disemayamkan.

        Di lantai dasar kompleks candi, bergelimpangan mayat-mayat para prajurit.  Sungguh pemandangan mengerikan.  Banjir darah mengenangi jalan utama kompleks. Nuansa biru langit komleks candi berubah menjadi keunguan terkena cipratan darah para prajurit yang menjadi korban.  Bangunan di lantai tersebut banyak rusak terkena bentrokkan senjata, membuat darah Kirana terasa mendidih sehingga tanpa adar ia mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.  Melesat masuk ke lantai  dua diiringi pekikan Jatayu.

        Tampak tiga orang dikepung orang-orang berpakaian pendeta.  Ternyata sekelompok pendeta yang ditemui Kirana adalah samaran para penjahat.  Dari pakaian yang dikenakan ketiga orang itu menandakan bahwa mereka adalah dua orang perwira tinggi kerajaan dan seorang anggota keluarga istana.

        Dua orang perwira tersebut bertempur dengan hebatnya.  Satunya bersenjata tombak. Setiap ia mengayunkan tombaknya terdengar suara menderu bertanda tenaga dalam yang hebatnya.  Yang lainnya bersenjata dua pedang. Perwira memutar-putar pedangnya bagaikan tarian pedang yang indah dan cepat namun telengas.  Tetapi lawan mereka bukanlah orang sembarangan apalagi mereka kalah jumlah.  Tidak urung mereka terdesak.

        ''BERANINYA KALIAN MENGGANGGU TIDURNYA PANGERAN SINATRIA WIRIADIKESUMAH"!!! teriak Kirana mengejutkan semua orang yang sedang bertempur. Apalagi Kirana berteriak menggunakan tenaga dalam sehingga mengetarkan dada orang-orang.

        Pekikan Jatayu kembali terdengar. Kirana mendarat dengan berputar secepat kilat sambil menganyunkan pedang. Sehingga terlihat seperti angin puting beliung berwarna kehijauan sesuai kebaya dikenakan Kirana, diselingi warna keperakan. Setiap angin puting beliung menerpa para pendeta gadungan. Sabetan pedang Kirana menebas tubuh mereka tanpa bisa dicegah.  Menimbulkan hujan darah di sekitarnya. Sekejap mata para pendeta gadungan tersebut tewas dengan tubuh terpotong-potong.

Prahara KertanegaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang