(n.) sacrificium

515 53 6
                                    

[warn! —again and again, there's so much narration (only at the beginning, but still), so if you don't like this type of fanfiction just close this page.

—beware of typos!]

Akhir-akhir ini, aku sudah terbiasa melihat Baekhyun yang berwajah tak sedap dipandang. Bukan. Bukan berarti dia jelek. Bahkan bagiku, dia lebih dari segala perempuan di luaran sana.

Baekhyun hanya sedang bekerja keras. Sebenarnya bukan hanya dia. Bahkan aku—kami, EXO, sedang bekerja keras pula. Memerah seluruh tenaga hingga menghasilkan peluh yang tak kenal lelah mengaliri tubuh.

Tentu saja kami mau tidak mau melakukan ini. Konser penutupan kami—Elyxion Dot—semakin dekat, dan kami sudah seharusnya menganggap latihan sebagai sesuatu yang serius.

Meski begitu, tidak satupun dari kami yang melakukannya dengan terpaksa. Sebersit bayangan akan teriakan, senyuman lebar, juga tangisan bahagia fans kami nantinya sudah lebih dari cukup untuk menjadi cambuk bagi kami. Semua jerih payah kami saat ini sekonyong-konyong tulus demi menyenangkan fans.

Tapi tetap saja. Melihat Baekhyun, Baekhyun kesayanganku, yang bekerja terlalu keras tidaklah pernah benar-benar menyenangkan untukku.

Memang, kuakui, Baekhyun adalah pekerja keras. Dia tidak akan menyerah semudah itu tak peduli sesulit apapun keadaannya. Dan itu adalah hal yang bagus, sesungguhnya. Tapi satu hal yang berada tersudut di hatiku tetap tidak bisa menyangkal perasaan tidak menyenangkan kalau sudah melihatnya nampak pucat, atau tubuhnya yang melimbung lemah, juga nafas yang berhembus tak beraturan.

Setiap kali aku tidak bisa menahan diriku lagi dan mencoba memintanya berhenti barang sejenak saja, dia bisa-bisanya selalu tersenyum kelewat lebar. Senyumnya manis, tapi aku membencinya karena matanya tidak ikut tersenyum.

Matanya sayu. Tentu saja, karena dia lelah. Aku yang hanya melihatnya saja bisa sampai merasakan lelahnya.

Dan di sela senyum menyedihkan itu, bibirnya selalu saja menyisipkan kalimat yang sama. "Tidak apa-apa, Chanyeol, aku masih bisa."

Kau mungkin masih bisa memeras keringatmu lagi, Baekhyun, tapi akulah yang sudah tidak bisa melihatmu begitu.

Kalau sudah seperti itu, aku tidak lagi punya kuasa lebih untuk mencoba menghentikannya. Pada akhirnya aku tahu beban yang dipikulnya. Dia dituntut untuk menjadi sempurna di penampilannya nanti, yang mana dia memiliki penampilan solo. Dia hanya sendiri di atas panggung, menyanyi sekaligus menarikan koreo baru yang belum pernah ditampilkan di hadapan khalayak umum sebelumnya. Dan jelas, hal itu tidak mudah. Tidak pernah mudah.

Rasanya kerja kerasku demi konser penutupan ini sama sekali tidak bisa disandingkan dengan perjuangan Baekhyun. Hah, tentu saja. Kalau pada kasusku, kuakui aku masih bisa bernafas sedikit lega. Penampilan khusus dariku nanti, tidak kutampilkan sendiri. Ada Sehun yang menemaniku dan juga koreo yang kami berdua lakukan tidak serumit milik Baekhyun. Sisanya adalah stage full member yang mana sering kami tampilkan di hadapan fans sebelumnya. Jadi seharusnya tidak sesulit itu.

Karena hal ini, hari-hari mendekati konser jadi kulalui dengan perasaan yang selalu kalut. Melihat Baekhyun yang bolak-balik melatih koreo dance-nya lalu vokalnya, yang hanya dengan dibayangkan saja sudah ketahuan seperti apa lelahnya. Belum lagi kalau dia mulai kehilangan tenaga dan pergerakannya melemah sedikit saja, atau kalau suaranya menyerak karena letih, pelatih tak segan-segan membentaknya sampai mampus. Membuatku bertanya-tanya apakah ada jiwa manusiawi yang tersisa di tubuh pelatih itu—pelatih sialan yang rasa-rasanya ingin kutenggelamkan ke laut mati.

chanbaek; (n.) sacrificiumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang