Dua puluh

1K 161 26
                                    

“Jadi pacar gue, Sya.”

Tubuh Risya langsung berbalik begitu Revan mengucapkan kalimatnya.

Laki-laki itu berdiri menahan sakit di kakinya. Berdiri tepat di depan Risya yang memandangnya kaget.

“Izinin gue untuk jadi apapun yang lo butuhin. Izinin gue untuk jadi orang pertama yang lo hubungin ketika lo sedih dan kecewa. Izinin gue untuk jadi alesan di setiap kebahagiaan lo. Izinin gue untuk melibatkan diri di setiap kehidupan lo. Gue...."

“Van.” Risya menginterupsi kalimat Revan, matanya berkaca-kaca.

“Mungkin lo kaget karena ini tiba-tiba. Tapi gue nggak bisa lama-lama ngeliat lo berjuang sendirian, Sya. Gue... gue mau nemenin dalam perjuangan lo itu.”

Revan mendekatkan dirinya pada Risya. Kepalanya merunduk untuk melihat wajah Risya yang saat ini ia tundukan. Kedua tangannya menggenggam erat kedua tangan Risya yang dingin.

“Sya. Bilang sesuatu.” Setidaknya jika Risya berbicara mengenai apa yang dirasakannya, Revan bisa mengerti. Tapi jika Risya diam seperti ini, Revan tidak paham apa yang dipikirkan perempuan itu. Ia tidak bisa menebak-nebak karena itu akan berujung menjadi salah paham.

Yang dilakukan Risya selanjutnya adalah melingkarkan tangannya kedua tangannya pada tubuh Revan. Menarik tubuh Revan dalam dekapannya dan menaruh kepalanya di dada bidang milik Revan.

Selama beberapa saat Revan tidak menanyakan alasannya.
Sampai kemudian perempuan itu menangis. Terisak menyayat hati dengan suara pilu dan erangan menyakitkan yang entah kapan akan berhenti. Seolah meluapkan semua keluh kesah, semua perasaan sakit yang selama ini dirasakannya, seolah menunjukan pada Revan bahwa ia ingin untuk terlihat lemah saat ini, seolah menjadikan Revan tempat mengadu atas segala masalah yang menyelimutinya, seolah meminta Revan untuk berada di sisinya, menjaganya, melindunginya dan menemaninya.

Ini pertama kalinya Risya melakukan ini pada Revan. Pertama kalinya Risya lebih dulu memeluk Revan erat. Pertama kalinya Risya menunjukan sifat aslinya pada Revan.

Revan menyandarkan dagunya di atas kepala Risya dengan sebelah tangan mengelus punggung Risya lembut. Tidak mengatakan apapun, tidak menyuruh perempuan itu untuk berhenti menangis. Karena dengan membiarkan Risya menangis di pelukannya, merupakan hal terbaik yang bisa Revan lakukan saat ini.

Malam ini, pukul 11 lewat 45 malam, dengan harapan yang sudah ditaruh tinggi-tinggi, Risyafa Airen menjatuhkan dirinya pada Revanza Athariz.

=/=

“Ki, sumpah ya, kalau lo punya kemampuan kayak Jane di twilight, gue udah meninggal.”

Kinan menarik tubuhnya dan menegakkan postur tubuhnya. Matanya tidak lepas menatap Risya lekat-lekat dengan alis yang saling bertautan mencoba membaca raut wajah Risya yang ujungnya sama sekali tidak ada hasilnya.

“Yaudah ceritaaaa…” rengek Kinan pada akhirnya. Suaranya yang keras dan terdengar manja menarik perhatian siswa siswi yang di kantin.

“Cerita apa, sih? Kan gue udah cerita.”

“Lo sama Revan, Syaaaaaa.”

Dari pagi di kelas Kinan tidak henti-hentinya menatap Risya penuh curiga. Sebenarnya tatapannya dari pagi meminta Risya untuk menjelaskan mengenai hal tersebut, tapi Risya yang tidak peka dan Kinan yang malas untuk mengutarakannya.

Banyak hal ganjil Kinan lihat dari pagi. Selain Revan dan Risya yang berangkat bersama, juga Revan yang membelikan Risya sarapan roti dan teh hangat tadi pagi, mengantarnya ke meja Risya, mengabaikan pandangan penuh curiga dan tebakan seisi kelas.

InersiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang