Sastra, mahasiswi pecinta alam yang menjadi relawan pada saat bencana Palu-Donggala tahun 2018 silam yang jatuh cinta dengan seorang lelaki yang ternyata satu universitas dengannya. Kira-kira apa yang membuat mereka tak kunjung jadian?
Kafe siang itu sepi, hanya dua meja yang terisi, di bagian pojok depan dan tengah. Penghuni masing-masing meja nampak berpasangan, sementara yang lain bersenda gurau, meja nomor 7 hening sepi tak bergeming. Sepasang muda-mudi itu saling fokus dengan masing-masing buku di tangan mereka. Matanya sama-sama lekat ke buku, bahkan sama sekali tak bersuara. Satu jam berlalu, mereka masih melakukan hal yang sama. Pelayan kafe memandanginya dengan mata yang monoton. Lelaki itu akhirnya menaruh buku, matanya memandangi sampul buku wanita di hadapannya. Ia pun sesekali mengangkat kepalanya agar bisa melihat mata cokelat wanita di balik buku tersebut. Matanya masih dengan disiplin berjalan diantara larik-larik buku tersebut, dengan cepat turun ke baris bawahnya lagi, kemudian lembar berikutnya lagi. Terlalu seru hingga dia sama sekali tak sadar semenjak tadi diperhatikan oleh lelaki di hadapannya.
“Selesai”, katanya menutup buku. Membuka kaca matanya lalu menaruhkan di atas kepala.
Mata wanita itu sembab, seperti habis menangis. Barangkali memang menangis tapi walaupun begitu dia tidak akan mengakui sebab gengsinya sangat besar.
“Besok gua ke Cikuray, anterin ke terminal ya Ageng” katanya lagi.
“Loh bukannya Senin UAS ya? Bukannya belajar malah naik gunung” lelaki yang dipanggilnya Ageng itu memprotes.
“Iya kan gua 2 hari aja, Minggu malem udah di Lampung lagi kok. Ini soalnya kan mau reuni sama temen-temen lagian sebelum jadwal UAS keluar, ini tuh sudah direncanakan jauh-jauh hari, jadi ya nggak bisa diubah. Tapi tenang, gua bawa buku buat belajar disana”, wanita itu panjang lebar meyakinkan.
Lelaki itu hanya bisa diam, karena dia tahu lawan bicaranya sangatlah egois dan tidak bisa ditahan apalagi untuk urusan ke gunung. Pernah suatu waktu, mereka bertengkar hebat karena Ageng tidak ingin wanita itu pergi ke gunung dalam keadaan tidak sehat. Pada akhirnya wanita itu tetap pergi tanpa mempedulikan Ageng, entah antara teguh pendirian atau egois tapi itulah yang ada pada diri wanita tersebut. Tidak mau hal tersebut terjadi lagi Ageng hanya bisa diam. Wanita itu bernama Sastra, mereka bertemu saat keduanya menjadi relawan bencana alam tsunami Palu dan Donggala Oktober 2018. Ageng yang jarang dengan aktivitas fisik pada saat itu mendadak sakit di kamp bencana, sebagai rekan satu tim Sastra adalah yang paling peduli kepadanya, alasannya cukup sederhana, kasihan. Sebenarnya sebelum itu terjadi Ageng lebih dahulu jatuh cinta kepada Sastra, pada saat pembekalan relawan Ageng memperhatikannya diam-diam, dipandangan Ageng dia nampak mandiri, cekatan, teguh pendirian walaupun sedikit cenderung egois, Sastra juga tidak ribet seperti wanita seusia dirinya yang sibuk dengan skincare, karenanya juga kulitnya nampak legam dan belang di bagian lengan. Akan sangat terlihat saat dirinya mengenakan kaos oblong pendek.
“Heh kok melamun sih, ini gua udah mau berangkat, sini carier gua”, Sastra menarik carier hitam dari tangan Ageng.
Dari balik jendela bus Sastra melambaikan tangan walaupun bus belum juga berjalan. Sementara meski mata Ageng tertuju kepadanya, namun aslinya dia sedang melamun.
“Geng, kok lo kayak nggak suka gitu sih. Happy dong happy gitu”, Sastra meneriaki Ageng dari jendela. Sementara itu Ageng menyadarkan dirinya lalu melambai tersenyum.
Setelah wanita itu berlalu Ageng tak langsung pulang, dia memilih duduk diantara bangku tunggu penumpang. Batinnya berbicara sendiri.
“Dia memintaku menjadi rumah, sedang dirinya lebih suka berlama-lama di tenda dan alam terbuka. Hmm mencintai pengembara aku harus sabar dan siap selalu untuk kemungkinan terburuknya; dia menemukan yang lebih di tempat-tempat lain”.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.