Aku pernah mencoba begitu kuat untuk melarikan diri darimu. Aku terlalu takut diikat sebuah komitmen. Aku yang nampak begitu baik – baik saja dengan sebuah komitmen masa depan, ternyata jadi ciut nyali kala berhadapan dengannya secara langsung. Bayang kenangan masa lalu kelam tempatku dibesarkan menjadi momok. Kucoba membuka tumpukan harap dan penantian akan seseorang impian di masa depan. Kuamati dengan seksama, mencoba menyandingkan dan membandingkan daftar harapku dengan sosokmu.
Sialnya, kau tak bercela. Kau adalah sosok yang selama ini aku cari dan nanti.
Mungkin, karena jiwaku adalah jiwa yang haus akan pengaminan impian... atau mungkin karena aku sudah terlalu lelah menanti. Akhirnya aku mencoba membelai sepasang hati yang pernah memberiku segenap jiwa dan raganya. Tak mudah, sungguh tak mudah. Duduk bersama dan berkisah dengan hangat bukanlah kebiasaan kami. Kami adalah orang – orang dingin yang tinggi hati, memilih diam dan memendam bisik hati.
Aku tahu semua tentangmu, jauh sebelum kau mengatakan semua itu padaku. Aku pun sempat heran. Namun, getaran hati dan prasangka naluri membuatku menerka sosokmu. Setiap jengkal masa lalumu seakan berputar dengan jelas di dalam kepala. Ia merasukiku dan menggerogoti nurani. Aku ingin merengkuhmu dengan cara sederhana berbisik dan berkata 'Kita akan melaluinya bersama, aku tahu ini awal yang sulit. Mungkin aka nada alur yang lebih rumit. Namun, selama kau mau menerimaku dan percaya padaku maka kita akan bisa melewatinya.'
Bahkan ketika beberapa tangan menarikku untuk kembali, kakiku selalu mencoba menujumu. Aku takut hatimu yang merapuh dihancurkan orang lain. Meskipun aku bukan orang yang terbaik, namun aku ingin menjadi satu – satunya orang yang siaga menggenggam tanganmu. Sempat aku berpasrah pada takdir. Membiarkan orang sebaikmu mencari orang lain yang jauh lebih baik dariku. Sebab aku tahu diri, aku bukan apa – apa jika dibandingkan denganmu.
Omong kosong! Nyatanya, aku tersiksa melepasmu. Namun, aku menutupinya dengan rapat. Aku terlalu malu untuk mengaku. Aku terlalu hina untuk meminta. Aku dan hatiku yang begitu kotor pada akhirnya hanya bermesra dalam ratapan do'a. Aku kian khusyu' meminta pada-Nya untuk kembali menata hatiku yang sudah luluh lantak dan porak poranda. Aku meratap dan mengadu pada setiap sujud, meminta separuh nyawaku yang dicuri diisi-Nya kembali. Aku yang tak pernah merasakan patah hati, akhirnya merasakan betapa sakitnya dipatahkan. Kamu tidak salah, aku yang salah. Aku yang menata hatiku di tengah lintasan pacumu, akhirnya aku yang membunuhnya sendiri. Membiarkannya disambar kuda pacuanmu tanpa ampun.
Sedang aku hampir kehilangan akal, menata hati yang tak kukenali bentuk awalnya. Mengisi hati yang sedari awal kosong. Bediri sendiri, ketika semua sudah hancur. Dan aku memeluk harapku yang sudah berterbangan.
Aku tak berpaling, pun tak menunggumu. Aku bimbang harus memilih apa. Aku mengharap sebuah pelukan hangat, bukan sebuah terjangan.
Aku memang selalu begitu, memilih diam. Sebab, aku tak ingin orang tahu bobroknya hatiku. Sebab aku tak ingin orang melihatku rapuh. Sebab aku tak ingin orang tahu bahwa aku akhirnya patah.