Keringat telah sempurna membasahi tubuh. Napas dan degup jantung sama sekali tidak bisa kukendalikan. Tubuh gemetar dalam bayang ketakutan.
Baru saja aku melakukan kesalahan yang sangat fatal. Tepat di sebuah tikungan, tidak sengaja mobil yang kukemudikan menabrak seorang wanita yang tengah melintas dari arah kiri. Aku melihat jelas, tubuhnya terpental jauh, disertai darah menciprat di mana-mana. Tanpa melihat pun, sudah bisa dipastikan wanita itu meregang nyawa di kegelapan malam itu sendirian.
Ketidakberanian, rasa takut, dan bayang-bayang hukuman penjara, membuat logika memaksa raga untuk lari sekencang mungkin. Kukesampingkan hati yang sebenarnya ingin bertanggung jawab.
Dalam kondisi ketakutan begini, pulang bukanlah pilihan yang terbaik. Sendiri dalam rumah besar yang kosong melompong itu, hanya akan membuat stres semakin bertambah. Dewa, adalah solusi terbaik. Sebagai sahabat, tentu ia akan memberikan solusi yang terbaik untuk masalah berat ini.
***
Dewa terlihat sangat heran menyambut kedatanganku. Memang tidak biasanya, aku datang secara mendadak di kosan kecilnya yang sempit.
Tanganku gemetar meraih kedua bahu Dewa, lalu mengguncangnya kuat.
"Wa, tolong aku. Aku ... aku baru saja membunuh seseorang." Napasku masih memburu, sama sekali tidak bisa dikendalikan.
Wajah Dewa memerah. " Maksud kamu apa, Dan?"
"Dia ... perempuan itu ... perempuan itu. Aku menabraknya, Wa. Aku ... aku ... tak tahu apa yang harus kulakukan."
"Jangan bilang, kalau loe barusan tabrak lari, Dan." Dewa menggeleng, ikut panik.
Tanpa permisi, kuhempaskan tubuh yang masih gemetar di kasur busa tipis milik Dewa. Tanganku meremas-remas rambut yang sengaja kubiarkan gondrong sampai bahu. Di balik wajah garangku, ternyata diri ini tak lebih dari seorang pengecut.
Kasar, Dewa menarik tanganku hingga bangkit terduduk di sisi kasur.
"Lalu ngapain kamu di sini?"
"Apa maksudmu, Wa?" Aku menatapnya bingung.
"Bagaimana pun keadaannya, kamu harus menolong orang itu. Sekali pun hanya mayat yang akan kamu temukan di sana." Dewa menatapku tajam.
Aku terkesiap. "Jangan bilang, kalau kamu menyuruhku ke tempat itu lagi sekarang," tebakku kurang yakin.
"Aku tidak hanya menyuruh, Dan. Aku akan menyeret raga tak bertanggungjawab ini ke sana. Sekarang!"
"Tapi, Wa ...."
"Tidak ada tapi-tapian. Kalau kamu gak mau, aku akan menelpon polisi, melaporkan semua ini."
Ancaman Dewa membuatku tak berkutik. Ragaku hanya menurut, mengikuti langkahnya. Namun dengan satu syarat, ia yang mengendarai mobil maut ini. Tubuh ini masih terlalu syok, untuk mengendarai mobil lagi.
Semakin dekat tempat tragis itu, tubuhku semakin gemetar. Tidak sanggup menyaksikan tubuh berlumur darah itu. Namun semuanya percuma, karena sama sekali tidak apa-apa yang kami temui di sana. Kosong. Sedikit bekas pun tiada. Seharusnya di sini, ada berkas darah karena nyata, perempuan yang tertabrak tadi berlumuran darah.
"Kamu yakin di sini kejadiannya?" tanya Dewa heran.
"Aku yakin. Hanya saja ... tunggu sekejap. Aku akan bertanya pada tukang pecel lele di ujung jalan sana. Kalaupun ia tidak melihat kejadian, karena terhalang tikungan. Sekurang-kurangnya ia tahu, jika ada ambulance atau pun mobil polisi yang lewat."
Dewa mengangguk. Sambil berlari, aku menuju lapak yang kumaksud. Tanpa basa-basi langsung ke pokok permasalahan.
"Kecelakaan? Enggak, Mas. Saya tidak melihat apa-apa," serunya kebingungan. "Sejak siang tadi, juga enggak ada satu ambulance pun yang lewat."