Setelah tahu rasa sakitnya diberikan harapan palsuu terus menerus, aku memutuskan untuk tidak berpacaran. Aku tidak mau bergantung dengan laki-laki karena aku bisa tanpa laki-laki.
Yahh.. dulu aku mengatakan itu pada diriku sendiri, dan mencoba menguatkan hati agar desakan untuk berpacaran tidak menggebu-gebu seperti dulu. Tapi itu runtuh seketika ketika aku bertemu denganmu. Aku tidak tahu apa yang membuatku bisa meruntuhkan keyakinan itu. Padahal aku tahu kau sama seperti laki-laki lainnya, yang pandai merayu seorang wanita dengan kata-kata manisnya. Entah mengapa semua fakta tentangmu itu seakan sirna. Wajah. aku rasa biasa saja, tidak ada yang spesial, tapi kenapa ? Entahlah aku juga tidak mengerti tentang itu.
Tapi aku ingat satu hal, sebelum aku mengatakan "Iya" saat kau mengajakku untuk berpacaran, aku menanyatakan satu hal yang sangat penting. Aku mengatakan "Aku sudah lelah untuk berpacaran, bukan berarti aku tidak mau berpacaran untuk saat ini, tapi yang ku mau, kau yang menjadi pacaraku untuk saat ini, aku mau kau juga yang menjadi suamiku suatu hari nanti. Jika tidak mau aku tidak memaksa, itu terserah kau saja".
Tanpa terkira dia mengatakan "Iya, aku mau menjadi suamimu".
Waahh, aku merasakan hal yang luar biasa, aku tidak percaya dia akan mengatakan "Iya" dengan syarat yang ku berikan. Aku merasa sangat senang, aku tidak pernah merasa sesenang ini.
YOU ARE READING
Kita Wanita
KurzgeschichtenCurhatan hati seorang wanita, perasaan yang dimiliki serta isi hati yang terpendam.