"Jadilah anak yang baik. Turuti apa kata Bapakmu."
Masih teringat jelas kalimat terakhir Ibu, sebelum ia pergi. Pergi dengan mengoyak sebagian hati.
Aku tidak tahu ke mana Ibu. Bapak tidak pernah mengatakan sekali pun. Yang kutahu, kata Bapak, Ibu pergi ke kota, bekerja mengumpulkan rupiah, agar hidup bisa terangkat dari kemiskinan. Berulang kali kucoba bertanya, mengapa harus Ibu? Bukankah yang bertanggung jawab soal nafkah itu, seharusnya Bapak?
Hampir setiap malam aku menangis. Bantal tempat terlelap, selalu saja basah karena air mata. Rindu pada belaian tangan Ibu, sebelum terlelap, tiada dapat tergantikan. Bapak bilang, jangan menangis. Pantang bagi seorang laki-laki bermandi air mata, meski kesedihan melebihi dari apa yang sanggup ditanggung.
Namun, bagaimana aku bisa menahan kesedihan? Bapak dan Ibu jauh berbeda. Ibu bahkan lebih terasa dekat daripada urat nadi, sementara bapak tidak sama. Kita bagai dua individu asing yang tinggal berdua satu atap. Hanya sesekali interaksi yang terjadi, karena selebihnya hanya sepi.
***
"Pak, aku rindu Ibuk. Kapan ya Ibuk pulang?" tanyaku suatu malam. Saat itu Bapak sedang duduk di teras, melamun dengan sulutan rokok tiada lepas dari mulutnya. Asapnya mengepul memenuhi udara. Biasanya senja begini, Bapak selalu keluar, duduk di warung ujung jalan, dan pulang saat malam telah larut. Tiada waktu untukku bertanya soal apapun. Namun saat ini, gerimis menghambat langkahnya.
Bapak berdeham. Sekali lagi, ia sulut rokok kreteknya yang sedikit lagi tinggal puntung, lalu membuangnya ke genangan air di depan kami.
"Sudah empat bulan Ibuk di kota. Apa Ibuk ndak kangen sama kita ya, Pak?" tanyaku lagi. "Jangankan pulang, menelpon saja Ibuk ndak pernah," keluhku. Rasanya tenggorokan tercekat. Tangis seakan tengah berusaha untuk tumpah ruah.
"Bapak juga heran, Lif. Padahal Ibukmu udah janji akan sering menelpon. Tapi sampai saat ini, tiada pernah ada kabar darinya," jawab Bapak. "Besok kita ke rumah Mbok Yum ya, minta nomer hp Yanti, teman Ibukmu yang telah membawanya ke kota."
Ucapan Bapak umpama matahari yang seketika menerangi kegelapan hariku. Ada secercah cahaya dalam gelapnya kerinduan.
***
Tepat setelah bel pulang sekolah menggema, sigap aku meraih tas, lalu berlari dengan cepat. Tidak kupedulikan sorakan Bimo dan Jaya, yang tentu saja heran akan sikapku siang ini. Padahal biasanya, selalu saja ada rencana yang akan kami lakukan sepulang sekolah, untuk mengisi waktu luang.
Namun, beda kali ini. Kegiatan seru bersama dua sahabat karib itu tidak lagi menarik hati, dibanding setetes obat kerinduan pada Ibu. Biar tubuhnya belum bisa didekap, mendengar suaranya saja sudah lebih dari cukup.
Kaki berlari dengan cepat. Tidak kupedulikan ujung celana basah karena kecipratan genangan air sisa hujan, yang tidak sengaja kuinjak. Sepatu pun kotor berlumur lumpur.
Kulihat Bapak sudah menunggu di depan rumah. Mulutnya masih tidak henti menyulut rokok, meski batuk sesekali datang menjelang.
"Ganti bajumu, habis itu makan," seru bapak melihat kedatanganku yang tergesa-gesa.
Secepat kilat, aku masuk ke dalam rumah. Mudah saja mencari sepasang baju yang akan dipakai dalam keadaan terdesak ini. Baru saja tangan terjulur ingin menyentuh tudung saji, kutarik lagi dengan cepat. Selera makan hilang lenyap dibawa rasa tidak sabar.
Melihatku muncul lagi di depan pintu, Bapak mengernyitkan keningnya.
"Sudah makannya?"
"Nanti saja, Pak. Aku ... aku sudah ndak sabar mau nelpon Ibuk," pungkasku pelan.