B104

157 21 20
                                    

Bangku

Ciko menghela napas panjang menatap keramaian yang berada di hadapannya. Dia tidak terbiasa sendiri di tengah keramaian seperti ini. Biasanya dia selalu bersama teman-temannya, paling tidak pasti Yudan selalu menemaninya.

Langit mulai menggelap, Ciko memaksakan diri berjalan ke atas bukit untuk mencari teman-temannya. Setelah berusaha keras menyakinkan keluarganya untuk membiarkan dia tahun baru bersama teman-temannya, Ciko langsung pergi ke rumah Jala. Sayang sekali, dia terlambat dan teman-temannya sudah berada di bukit. Dia juga sudah mencoba menelpon teman-temannya, tapi tetap saja kata operator, nomor mereka semua berada diluar jangkauan. Padahal di atas bukit Ciko yakin jaringan masih ada.

Ciko terus mempercepat langkah kakinya, namun lautan orang memperlambat langkahnya. Jalan yang dia tuju sepertinya sangat panjang, sangat berbeda ketika dia berjalan bersama para sahabatnya. Rasanya berjalan bersama mereka, tanpa sadar tempat yang mereka tuju telah sampai. Namun sekarang berbeda.

Jalan menuju bukit sangat ramai, namun setelah sampai di atas bukit, keramaian semakin memadat. Ciko berjalan mencari tempat yang sepi, menghindari keramaian.

"Hahahahaha..."

Ciko langsung mengedarkan pandangannya. Pemuda yang berprestasi itu sangat yakin jika dia mendengar suara tawa yang tidak asing. Dia mengikuti suara itu, suara tawa yang semakin lama semakin keras. Hingga dia akhirnya bertemu dengan empat pemuda yang sedang mengobrol.

"Kalian ternyata disini." Ucap Ciko sambil tersenyum tipis.

Keempat pemuda itu serentak menoleh ke arah Ciko. Mereka sedikit terkejut dengan kehadirannya.

Heri berjalan maju ke arah Ciko dengan semangat. "Hahaha, sudah gue duga lu pasti datang. Hahaha, apa gue bilang? Bayar gue satu milyar, Jal!"

Jala menatap tajam Heri, "Bacot."

Wajah Heri langsung murung, "Ternyata Jala seseorang yang gak menepati kata-katanya. Kecewa gue."

"Bacot lu, sat."

Ciko duduk ke bangku yang kosong dengan lelah. Berjalan menuju ke bukit melewati lautan orang sangat melelahkan. "Mana Yudan?" Tanyanya.

Doni menggelengkan kepalanya. "Belum datang." Jawabnya.

Saat melihat mereka, Ciko sempat merasa aneh karena hanya melihat, Heri, Jala, Doni, dan Ogi. Seseorang yang juga antusias dengan festival ini ternyata belum datang atau mungkin dia tidak akan... datang.

Heri tersenyum lebar melihat ekspresi Ciko. "Cik, lu tau tentang bangku yang lu duduki gak?"

Ciko menunduk menatap bangku yang dia duduki, "Gak. Emang ada apa?"

Heri tertawa singkat sebelum menjawab, "Konon katanya jika ada dua orang yang duduk bersama di bangku bentuk love itu, mereka akan menjadi pasangan yang abadi."

Saat mendengar ucapan Heri, saat itulah Ciko dan yang lainnya menyadari jika bangku yang Ciko tempati berbentuk hati. Cahaya remang-remang di malam hari membuat mereka mengabaikan bentuk bangku tersebut.

Jala memutar matanya malas, "Cuma orang bego yang percaya mitos kayak gitu."

"Hehe, benarkah? Kalau gitu, Jal coba lu duduk di samping Ciko. Saat lu dah menemukan pasangan, saat itu kita tau kebenaran tentang legenda ini mitos atau fakta." Tantang Heri dengan semangat.

Jala spontan mundur, "Gak, gue gak mau! Bukan berarti gue percaya." Tegasnya.

"Hahahahahahaha...hahaha... Jal, lu manis bangat sumpah hahaha..."

"Bangsat lu."

"Oke oke maap, gimana kalau kita berdua duduk di situ, Jal? Kalau cuma mitos kan lu gak usah takut."

Jala menatap tajam ke arah Heri, "Seumur hidup gue gak bakal duduk di situ sama lu." Tegas Jala.

"Berarti lu percaya ama mitos itu, berarti lu bego dong. Hahaha..."

"Brisik, lu bangsat!"

Heri mengangkat tangannya menyerah, "Maap Jal, maap deh."

"Hhh...hhh..."

Suara terengah-engah membuat seluruh perhatian jatuh teralihkan ke arah pemuda yang berdiri tak jauh dari mereka. Pemuda itu berjalan maju dengan lemah, dadanya naik turun terlihat sangat kelelahan.

"Lu lama bangat, Yud." Ujar Doni.

Yudan mengatur napasnya dengan susah payah. Dia menyapu pandangan di sekitarnya dan tatapannya berhenti di Ciko. Dengan lemas dia duduk di samping Ciko, "Gue capek. Hhh... gue hampir mati... Hhh... gue mati..."

"Tidaaak...! Jangan mati Yuuud...! Utang lu masih banyak...!" Teriak Heri dramatis.

"Kampret lu." Ucap Yudan dengan kesal.

Jala menatap ke arah Yudan dengan kening berkerut, dia ingin mengatakan sesuatu tapi kata-katanya tertelan begitu saja.

"Lu kok telat, Yud?" Tanya Ciko.

Yudan menoleh ke samping dan tatapannya langsung bertemu dengan Ciko. "Lu kok datang, Cik?" Tanya Yudan balik.

Ciko tersenyum geli mendengar pertanyaan Yudan, "Gue kepikiran mulu ama teman gue."

Yudan menganggukkan kepala, "Sama. Gue juga gitu, gue kepikiran mulu sampai gue tertidur dan telat."

"Hahahaha... Hahahaha... Hahaha... Hahaha..."

"Lu napa lagi, sih?" Tanya Jala kesal.

Heri menunjuk ke arah Yudan dan Ciko, "Hahaha... kalian ingat legenda yang gue ceritain tadi? Hahaha... perut gue sakit, Ya Allah. Hahahahaha..."

"..." Semua tatapan mengarah ke Yudan dan Ciko.

Yudan membalas tatapan mereka dengan tatapan bingung. "Ada apa?" Tanyanya pada Ciko.

Ciko tersenyum geli menahan tawanya. "Entah."

Mata Yudan memicing mendengar jawaban Ciko yang membuatnya semakin penasaran. "Ada apa, sih?"

"Bukan apa-apa. Lu tau sendiri kan dia gila, gak usah ditanggapin." Jawab Jala sambil melirik sinis ke arah Heri.

"Hahaha, iya lupakan saja. Hahaha, gue gila, hahaha... astaga perut gue... hahaha... hahaha..."

"..." Yudan sangat penasaran!

BoysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang