Mereka yang pergi memang akan memberi luka di hati. Namun mereka yang menetap dan selalu menyakiti, itu akan lebih melukai hati.
-AE-
"Jadi kamu belum tahu mau ketemu sama dia atau enggaknya, gitu?"
Esha menoleh saat mendapatkan pertanyaan itu. Dinda, yang memberi pertanyaan itu menatapnya. Menunggu jawaban yang akan ia berikan.
Kini, keduanya sedang berada di depan teras Cafè. Jam kerja mereka sama untuk hari ini. Setelah jam kerja habis, Esha meminta Dinda jangan pulang terlebih dahulu. Ia ingin bercerita dan meminta pendapat tentang hal yang diminta oleh Hasan kemarin malam.
"Iya. Aku gak habis pikir aja, Mbak. Segampang itu dia minta ketemu. Setelah apa yang dia lakuin dulu." Esha menghela nafas beratnya. Lalu melanjutkan, "Aku gak tahu apa yang ada di dalam pikiran Hasan."
Dinda mengusap bahunya dengan lembut. "Gini aja deh. Ikutin kata hati kamu yang paling kecil. Ini bukan tentang apa yang dia lakuin dulu ke kamu, Sha. Tapi tentang keadaan sekarang. Siapa tahu aja dia ada kepentingan yang emang bener-bener penting sama kamu. Coba, kamu pikirin lagi," ucapnya.
"Mbak, nggak tahu kenapa, setiap aku inget dia, aku langsung ingat masa lalu. Dan rasa sakit itu muncul lagi."
"Kamu belum berdamai sama diri kamu sendiri dan masa lalu itu."
Esha menatap Dinda. Menunggu penjelasan dari perkataan yang dilontarkan oleh perempuan itu. Dinda langsung menurunkan tangannya yang ada di bahu Esha. Menggenggam kedua tangannya.
"Kamu, harus bisa ikhlas. Damai sama diri sendiri dan ikhlasin masa lalu. Jangan pernah ungkit ataupun jadikan masa lalu kamu itu sebagai penghalang. Penghalang kalau kamu mau bergerak maju."
"Esha. Yakin sama Allah. Semua yang udah atau yang akan terjadi itu emang yang terbaik buat kamu."
"Termasuk ketemu sama Hasan?"
"Iya. Termasuk ketemu dengan laki-laki itu."
•••
Setelah menarik nafasnya dalam-dalam, dan menghembuskannya dengan perlahan, Esha mulai mengetik sebuah pesan untuk seseorang. Seseorang yang kemarin malam mengiriminya pesan meminta bertemu, Hasan. Ya, lelaki itu.
Esha sudah memikirkannya dengan mantap. Dan juga sudah memikirkan risikonya nanti setelah bertemu dengan lelaki itu. Semuanya ia sudah siap, Apapun yang akan terjadi nanti.
Di taman jelita. Jam sepuluh pagi, hari sabtu.
Setelah pesan itu terkirim, ia menaruh ponselnya di atas nakas. Lalu beranjak keluar kamar untuk menuju kamar adiknya, Caca. Jam masih menunjukkan pukul delapan lewat lima belas menit di malam hari ini. Dan Esha ingin melihat adiknya itu sudah tidur atau belum.
Esha membuka pintu kamar Caca, dan langsung disuguhi pemandangan di mana adiknya sedang duduk di atas tempat tidur sambil menggambar. Buku gambar, alat tulis dan pensil warna berada di atas kasur gadis kecil itu. Hal tersebut membuat seulas senyum manis Esha terbentuk.
Melangkahkan kakinya mendekat, Esha tak lupa menyapa Caca. Gadis kecil itu sedikit terkejut dengan kehadirannya, tapi membalas sapaannya dengan senyuman lucu. Esha duduk di samping Caca. Merangkul bahunya. Mencium kepalanya sejenak.
"Kok belum tidur? Kenapa malah ngegambar?" tanya Esha. Matanya menatap buku gambar yang sudah berisi gambar hasil karya adiknya.
Di sana, Caca menggambar pelangi dengan matahari. Tak lupa juga, ada bunga-bunga yang bermekaran. Gambarnya seperti taman bunga. Tapi, ada gambar empat orang berdiri. Memang, gambarnya tidak bagus sekali, tapi Esha masih bisa menilainya kalau itu gambar empat orang yang berdiri.
"Belum ngantuk, Mbak." Caca menjawab sambil mendusel ke tubuh Esha. Mencari kehangatan di sana. Kehangatan yang tak pernah bisa ia temukan di siapa pun selain kakaknya. "Caca pengen banget liat wajah Ayah secara langsung. Karena Caca cuma pernah lihat di foto, dan sekarang lagi kangen Ayah, Ibu, Caca gambar aja deh. Boleh kan, Mbak?"
Untuk saat ini juga, bolehkah Esha berteriak untuk menolak takdir yang Allah beri untuknya?
Esha mengusap kepala adiknya dengan lembut. "Iya, boleh. Kalau Caca kangen banget sama Ayah dan Ibu, jangan lupa berdo'a buat mereka."
Caca mengangguk. "Caca sayang sama Mbak Esha. Sayaaanggg bangeettt. Mbak cepetan nikah dong. Biar suami Mbak nanti, Caca jadiin Ayah kedua Caca. Bisa kan kayak gitu, Mbak?"
Eh?
Esha menjauhkan tubuhnya. Menatap Caca dengan alis yang dinaikkan. Dari mana adiknya itu belajar ucapan seperti tadi?
"Caca ngomong apa sih? Kata siapa coba kamu ngomong kayak gitu."
"Kata Tante Maya. Katanya "coba aja mbakmu udah nikah, pasti nanti kamu kayak punya ayah, Ca. Nanti juga pasti gak kesepian lagi. Suruh mbakmu cepet nikah deh sana" gitu."
Esha menggeleng tak habis pikir. Memang sih omongan Bu Maya tidak salah. Cuma, waktunya saja yang tidak tepat. Esha masih muda, masa harus nikah sekarang? Nikah dengan siapa? Yang melamarnya saja tidak ada.
"Udah. Gak usah pikirin apa kata Bu Maya. Bu Maya cuma becanda doang itu." Esha berusaha merubah pola pikir gadis kecil itu agar tidak termakan omongan orang lain. "Sekarang tidur. Nanti besok kesiangan. Gosok gigi, wudhu, abis itu tidur ya. Ayo, beresin barang-barangnya."
•••
Maaf partnya pendek.Oke, bersiaplah untuk bertemu dengan Hasan dan ....
Jeng jeng jeng, sabar ya
Ingetkan Bu Maya itu siapa?
Indramayu, 09 september 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
AKRESHA (SUDAH TERBIT)
RomanceBerjuang untuk seseorang yang hatinya masih terpaku pada masa lalu itu memang tidak mudah. Tapi percayalah, jika kita memang benar-benar tulus padanya, selama atau sesulit apa pun memperjuangkannya, perjuangan itu akan terbayar penuh dengan kebahagi...