Banyak yang belum tahu kalau hujan dan Jogja adalah karib. Aspal jalan dari Ullen Sentalu hingga Stasiun Tugu di jalan Malioboro tidak pernah tidak basah.
Hujan betah turun sejak subuh hingga menjelang tenggelam matahari, menyisakan kuyup pada baju jemuran yang lupa diamankan.
"Lembab terus, udah mau masuk penghujung tahun," ucap lelaki berkulit pucat yang pada matanya syarat akan kelelahan.
Dia menghirup teh panas dari cangkir kaca tebal yang bercap salah satu merk kecap lokal."Lo udah gak lupa hari?" balas sang lawan bicara, seorang perempuan yang namanya serupa nama bulan ini : November.
Lelaki itu menarik ujung bibirnya, membentuk lengkung senyum yang sulit terdefinisikan.
"Gue mau balik ke Jakarta," kata lelaki itu lamat-lamat. Matanya tidak lepas dari kepulan uap teh yang segera lenyap menyentuh udara.
"Gue juga mau balik ke Surabaya setelah UAS," cetus perempuan 'bulan' sedikit acuh.
Jeda beberapa menit. Tidak ada yang berniat membuka suara. Hanya terdengar bunyi hujan yang jatuh keras ke atas terpal warung tenda tempat mereka berteduh, serta ribut klakson mobil yang pengendaranya ingin segera sampai rumah.
"Bukan itu maksud gue," sang laki-laki memulai, " gue mau balik Jakarta selamanya, gue mau pindah kuliah, gue mau temenin Oma gue yang udah tua,"
Kata-kata itu diucapkannya dengan cepat, seperti sudah sekian hari disusun dengan hati-hati agar fasih disampaikan.
"Gila lo Doy! Serius?! Kenapa? Lo dibully? Lo ga betah tinggal di Jogja yang kalem ini?" cecar November sedikit panik.
"Enggak Nov..." lelaki itu menjentikkan jarinya di depan wajah November, lantas tertawa samber melihat ekspresi lawan bicara, "jangan bengong, muka lo kayak kadal, pantes dijadiin spesimen," sarkasnya.
Mereka kembali diam. Kali ini karena salah satunya merasa kesal.
"Lo tuh suka ngomong yang enggak-enggak, giliran minta diseriusin malah bikin tambah sensi!"
Kembali, lelaki itu mendapat cecaran. Sepertinya benar bahwa semua perempuan cenderung suka menjatuhkan lawan bicara.
"Gue ngerasa ada yang hilang di Jogja," kata Daris tiba-tiba, mengembalikan fokus pembicaraan yang sempat belok.
"Daris Omkara Yohan, kalau lo kehilangan sesuatu, ya cari! Bukan malah pergi!"
Daris tidak bisa membantah. November menang.
Entah apa yang hilang. Apakah sesuatu yang melekat dari dirinya, atau sesuatu yang menjadi bagian dalam hidupnya, Daris tidak pernah tahu.
"Lo ga kaya Daris yang gue kenal," lirih November seraya mengetukkan jari pada meja, "bukannya lo udah terbiasa kehilangan?"
Angin semakin kencang meniup tenda terpal. Daris memfokuskan matanya pada titik-titik hujan serupa jarum jahit yang sering melukai tangannya ketika dia berusaha membenahi kancing kemeja yang lepas.
"Gue emang terbiasa kehilangan, bahkan kadang nggak sadar kalau dulu gue pernah punya hidup yang lengkap," kata Daris.
"Hidup lo lengkap!"
"Nov..."
Mereka sama-sama lelah untuk kembali bicara. Topiknya akan terus berputar di perkara itu saja: keluarga Daris yang tidak utuh, Oma Daris yang terkena penyakit menahun, atau kakak Daris yang harus menjalani rehabilitasi karena salah guna narkoba.
"Kita sama-sama kehilangan Doy,"
"Beda,"
"Hidup memang tentang menyambut dan melepas, lo ga bisa menampik hal itu," tegas November lalu menandaskan sisa teh hangat pada cangkir.
Daris bungkam. Percuma membantah, toh semua yang perempuan itu katakan memang benar.
"Kali ini beda, semakin lama di sini, hidup gue semakin hampa, kosong," kata Daris dengan sedikit penekanan.
November tidak lagi memiliki keinginan untuk menjawab.
Raut wajah Daris berubah datar, dia mengacak rambutnya frustasi."Pergi kalo gitu," kata November kemudian,"pergi kalo menurut lo berada di sini membuat lo kehilangan banyak,"
Matahari sudah tidak kelihatan lagi. Lampu-lampu taman di dalam kompleks Grha Saba Pramana di seberang mereka mulai dinyalakan,pun lampu teplok angkringan.
Jalanan kian padat merayap, November berharap macet dapat terurai sebelum dia pulang. Sebelum dia mengucap "sampai jumpa, besok " kepada Daris, seandainya 'besok' itu masih ada.
"Gue berharap lo bisa menemukan sesuatu yang hilang itu,"ucap November.
"Semoga,"
"Semoga," ulang November, meskipun sejatinya dia belum siap mengirim Daris untuk pergi.
Tentu tidak akan pernah siap.
/TBC/
Emang ya, Doyoung enak banget dijadiin bahan halu.