BAB VI

87 11 2
                                    

Hari Ketiga. Hari ini sudah hari ketiga dan tidak ada hasil yang dapat memantapkan hatiku. Aku mulai merasa pasrah dengan jawabanku nanti, aku serahkan saja sepertinya kepada Tuhan.

Hari ini Eril tidak membawa bekal, ia pergi dengan Lucy untuk ke kantin bersama. Rasanya melihat orang lain menjalin hubungan serius, terlihat membosankan sekali. Apalagi yang kita lihat adalah orang yang kita cinta. Memang benar, mencintai sahabat sendiri sama saja seperti bunuh diri secara perlahan namun pasti.

Rini menghampiriku yang sedang berdiam diri di tempat dudukku sejak tadi. Aku sangat yakin niatannya kali ini hanya membuat aku semakin resah saja. Aku sudah siap memasang perisai untuk mendengarkan pembicaraannya.

"Kenapa, lo? Eril udah lebih bahagia sama pacar-nya, ya? Ketimbang sama, lo? Hahaha, kasihan!" Ujarnya sambil tersenyum sinis kepadaku.

"Udah ya, Rin. Nggak usah ngada-ngada, ya! Gue lagi malas meladeni yang nggak penting kayak gini," jelasku jengkel.

"Kalau bahasan gue nggak penting, tapi Eril penting dong, ya? Hahaha," lanjutnya.

Aku sama sekali tidak mempedulikannya. Aku langsung berjalan keluar kelas agar emosi tidak menguasaiku. Aku tidak habis pikir, cinta dapat menghalalkan segala cara. Sampai membuat seseorang bisa menyakiti perasaan orang lain hanya untuk menyenangkan diri sendiri dan melampiaskan kekesalannya terhadap orang lain. Turut prihatin atas manusia yang berperilaku seperti itu. Padahal kalau dipikirkan kembali Rini memiliki kriteria perempuan cantik dimuka bumi ini, ia memiliki badan yang sangat ideal, berambut panjang dan indah, berkulit cerah, semua aset yang ia miliki pada tubuh Rini layaknya model, tetapi kecantikannya tidak secantik perilakunya.

"Ah, gila! Bikin jadi overthinking aja tuh cewek gila!" Ujarku dalam hati.

Aku berjalan melewati koridor menuju ke kantin. Sepertinya melihat Eril dengan orang lain lebih baik ketimbang harus beradu argumen dengan Rini. Saat berjalan menuju kantin, tiba-tiba ada yang menyetuk pundakku dari belakang. Aku menoleh, ternyata Edgar yang datang menghampiri.

"Sendirian aja," ujar Edgar.

"Eh, kirain siapa. Iya, Gar," aku mencoba tersenyum kepadanya.

"Mau kemana? Kantin?" Tanyanya.

"Iya mau ke kantin, kamu juga?" Lanjutku.

"Iya, ya udah bareng, yuk," ajaknya.

Aku hanya menganggukan kepala sambil tersenyum kepadanya.

Aku sampai di kantin bersama Edgar. Benar saja dugaanku, pemandanganku akan sepasang kekasih favorite satu ini sedang makan bersama di Kantin. Aku melirik sesekali ke arah Eril dan juga Lucy dari tempatku berada. Mereka terlihat sangat bahagia bercanda gurau di sana. Aku merasa bodoh sekali sempat berpikir bahwa Eril juga memiliki perasaan yang sama denganku. Melihat ia sebahagia itu, aku sangat yakin bahwa ia mencintai perempuan itu.

"Kamu kenapa, Tar? Kok tiba-tiba geleng-geleng kepala sambil senyum, gitu?" Tanya Edgar.

"Nggak kok, ada hal lucu aja tiba-tiba terlintas, Gar. Eh, kok makanan kita nggak datang-datang, ya?" Aku mengalihkan pembicaraan.

"Eh, iya juga," tiba-tiba makanan pun di antar ke mejaku. "Nah, ini dia yang di tunggu-tunggu datang juga," lanjut Edgar.

Aku dan Edgar langsung menyantap makanan yang sudah siap saji. Edgar memang tipe yang sangat mudah mencairkan suasana dan mengadakan topik pembicaraan, jadi rasanya tidak mungkin setiap bertemu akan diam satu sama lain. Dia juga pintar dalam membaca situasi, sehingga perhatianku teralihkan kepadanya. Aku rasa, aku mulai menyukainya.

JOKES LIFE WITH TRUE LOVE [TERBIT | OPEN PO]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang