bagian delapan belas : ngedate

315 19 2
                                    

"Lo yakin mau pulang ke rumah?" tanya Nadia ketika Alma membereskan semua pakaiannya. Alma hanya menjawab dengan berdehem.

"Gue ikut," ujar Nadia membuat Alma menghentikan aktivitas berkemasnya. "Ngapain sih?" tanya Alma, heran, ia lalu kembali berkutat dengan barang-barang nya. Walau tak semua namun cukup banyak barang yang Alma kemasi.

"Gue cuma nggak mau liat Lo dibentak lagi, gue nggak mau Lo disiksa, gue nggak mau Lo disuruh makan mi instan terus, gue nggak mau Lo disalahin karena kesalahan orang lain, apalagi Alina." terang Nadia hampir menangis membuat Alma tersenyum.

Alma menghampiri Nadia lalu memeluk gadis itu. Gadis bar-bar yang sekarang menangis. "Cup-cup, masa udah gede nangis sih," ledek Alma langsung mendapat pukulan ringan di punggungnya.

"Ngerusak momen," rengek Nadia di tengah tangisnya, dengan suara serak.

Setelah berkemas dan menangis ria, Alma diantarkan Nadia sampai di rumahnya. Sekarang Nadia dan Alma sudah ada di depan rumah cewek itu. Rumah minimalis dengan dua lantai yang mereka tempati setelah kematian ayah Alma. Rumah mereka dulu jauh lebih besar dari itu, jauh lebih mewah, dengan semua perabotan yang sangat lengkap. Namun karena sifat Clara yang suka shopping membuat mereka harus menjual rumah itu.

"Balik aja yuk," ajak Nadia, ia merasa takut akan terjadi sesuatu dengan temannya itu. Ralat, sahabat bahkan saudara.

"Nggak," sahut Alma, cewek itu lalu membuka pintu mobil.

"Alma," panggil Nadia ketika Alma sudah berada di luar. Alma menunduk mensejajarkan tingginya dengan jendela mobil. Ia menatap Nadia menunggu cewek itu mengucapkan tujuannya memanggil.

"Kalo nggak dikasih makan telpon gue, gue bawain makan ntar. Kalo nggak dianter telpon gue, ntar gue jemput. Kalo Lo diapa-apain bilang, ntar gue telpon polisi. Kalo lo-"

"Iya bawel," potong Alma cepat.

"Kan gue bisa pesen makanan online, naik taksi online, bawel."

"Ish, tetap aja. Jangan lupa obat." Alma mengangguk meyakinkan Nadia dengan matanya.

Setelah itu Alma berbalik dan langsung melangkahkan kakinya menuju rumah. Nadia yang melihat Alma sudah masuk langsung menjalankan mobilnya untuk pergi.

Alma merebahkan dirinya di kasur. Sudah seminggu lebih ia tak kembali, pasti Clara akan menceramahi dirinya habis-habisan. Untunglah saat masuk tidak ada orang di rumah. Lalu kemana Alina pergi? Biasanya anak kesayangan Clara itu sudah di rumah.

Masa bodo dengan mereka, Alma sekarang hanya ingin tidur. Tak butuh waktu lama untuk membawa dirinya ke alam mimpi. Suara nafas yang begitu tenang kini mengisi ruang bernuansa biru navy itu.

°~°~°~°

"Bim, kita mau ngapain?" tanya Alina pada Bima yang sedang memperhatikan sekitar. Mereka tengah berada di salah satu mall yang cukup besar. Bima memaksa Alina untuk ikut dengan dirinya, Alina setuju berhubung cowok itu akan mengantar nya pulang, karena jujur Alina sudah tidak memiliki uang lagi. Namun ia tak tahu jika Bima akan membawa dirinya ke mall, untung ke mall bukan hotel.

"Maunya ngapain?" Bima bertanya balik pada Alina, bukannya menjawab. Ia sendiri juga tak tahu mau apa mereka ke mall.

"Nggak tau lah, kan kamu yang ngajak."  jawab Alina, membuat Bima nampak berpikir.

"Gimana kalo nonton?" tawar Bima seketika ingat pada Alma. Ah iya, Alma, sejak malam itu ia tak bertemu Alma lagi. Rasanya kejadian di taksi membuat Bima kehilangan muka dihadapan Alma.

Romansa SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang