"tapi karena hati gue yang mau," sambung Bima, membuat Alma mengernyitkan keningnya. "Maksudnya?"
"Gue juga nggak tahu."
Setelah itu keduanya memilih diam, Alma tak tahu harus bertanya atau merespon bagaimana. Ia memilih untuk diam dan mengamati yang tengah cowok itu lakukan.
Bima menyiram lukanya dengan air, terasa perih, refleks Alma memegang pundak Bima dan mencengkram erat untuk menyalurkan rasa sakitnya. Bima berhenti sejenak karena perlakuan Alma. "Lebih kenceng, biar gue tau gimana sakitnya."
Lagi, Alma dibuat bingung dengan ucapan Bima, cowok itu benar-benar tidak masuk akal. Walau begitu Alma tetap diam dan tak bertanya.
Bima mengelap tangannya dengan tisu perlahan agar tidak melukai tangannya yang terluka. Setelah bersih cowok itu meneteskan sedikit Betadine pada tangan Alma, lalu membalutnya dengan kasa. Hampir seluruh tangan dan jarinya terluka, hingga kasa menutupi semua sudut telapak tangan Alma.
Setelah selesai Bima tak langsung melepaskan tangannya dari tangan Alma, cowok itu justru menatap Alma secara intens membuat jantung Alma berpacu sangat cepat karena ditatap seperti itu.
"Gue serius, gue nggak manfaatin Lo. Dari awal waktu gue maksa Nadia, gue sadar kalo Nadia lebih pilih Lo dibandingkan dirinya sendiri, tapi karena ego gue, gue tetep kekeuh buat minta tolong sama Lo. Tapi makin kesini gue sama sekali nggak tau ada apa sama Lo dan gue, yang jelas gue ngerasa Lo nggak pantes buat dimanfaatin. Gue nggak akan minta tiga permintaan gue lagi, gue akan lupain itu semua."
"Ini bukan syarat, tapi permintaan, mau ya jadi temen gue?"
Alma mencoba mencari kebohongan di mata Bima, namun nihil, matanya tak sama sekali menunjukkan kebohongan. Lantas Alma tersenyum, entahlah, namanya juga kaum hawa pasti mudah baper.
Cepat-cepat Alma sadar dan mengubah senyumnya menjadi sebuah tawa pelan. "Lo ngomong apaan dah."
Alma hendak berdiri namun dicegah Bima. "Gue serius."
Alma menghela nafasnya, ia tak tahu harus bilang apa. "Nggak semua orang gue jadiin temen, nggak semua orang benar-benar peduli."
"Gue tahu, tapi Lo bisa coba dan Lo liat apakah gue pantes dijadiin temen atau nggak, gimana?"
"Okey, tapi gue tetep bakal bantuin Lo dengan tiga permintaan itu, gue nggak mau ingkar janji."
Bima mengangguk seraya tersenyum, percayalah kenapa tiba-tiba senyum cowok itu terasa begitu manis. "Terserah, malah gue untung," ujar Bima diakhiri tawanya.
"Dih, masih aja ada maunya."
°~°~°~°
Alina membantu mamanya merebahkan diri di kasur, ia menarik selimut Mamanya untuk menutup tubuh Mamanya yang masih terisak. Terbesit rasa kasihan melihat Mamanya seperti itu, namun Alina masih sangat kecewa dengan perilaku Mamanya.
"Mama istirahat dulu, Alina mau ngambil makanan sama minum buat mama," ujar Alina masih terdengar dingin.
"Maafin Mama." Suara Mamanya menghentikan langkah Alina.
"Mama tau mama punya banyak salah sama Alma, tapi dengan kamu bicara seperti tadi itu sangat menyakitkan untuk Mama. Anak Mama sendiri nggak percaya sama ibunya."
Alina semakin merasa bersalah, ia lalu menghampiri mamanya dan mendekap erat wanita itu. "Maafin Alina juga ma...Alina bener-bener nggak ada niat untuk nyakitin mama, tapi mama juga salah, mama nggak seharusnya terus-menerus nyakitin kak Alma."
KAMU SEDANG MEMBACA
Romansa Senja
Teen Fiction"Gue nutupin perasaan yang ada karena gue takut gue bakal ditolak."-Alma zevanya "Gue selama ini mencintai orang yang salah karena dia nggak pernah bicara soal perasaannya." -Bima Ragatta Published 15 Juli 2019 Story by Anggita Dwi Ristanti