"Aku tidak pernah menembak cewek. Aku takut ditolak."
Sabtu pagi Devon melangkah masuk ke dalam ruang berbau kopi itu. Aroma yang selalu menyenangkan, memanjakan indra penciumannya itu.
Devon menyalakan mesin kopi. Ia menurunkan kursi-kursi dari atas meja, lalu membalikannya sambil menunggu mesin kopi tersebut siap dipakai.
Devon memasukkan biji kopi ke grinder lalu melakukan kalibrasi atau yang dimaksud meng-setting espresonya dan mencobanya hingga mendapatkan rasa yang diinginkan.
Tidak lama kemudian Dinda datang dan menyapanya dengan senyum lebar. "Hai, Devon!" katanya sambil mengikat tali apronnya.
Kesempatan berduaan saja dengan Devon, mumpung tidak ada Kris, batinnya.
"Hai juga," jawab Devon datar tanpa memberi senyum membuat Dinda manyun.
Devon menuju pintu lalu membalikkan gantungan di pintu menjadi tulisan "OPEN".
Devon sedang berjongkok untuk mengecek bahan di chiller di bawah meja. Lalu bel di dekat pintu berbunyi menandakan customer pertamanya datang.
Ia berdiri dan mendapati wajah yang dirindukannya itu muncul.
Alexa tersenyum padanya. Devon tercengang melihat senyum Alexa untuk pertama kalinya. Dan senyum itu untuknya. Ia tidak salah lihat, kan?
"Kok diam saja? Tidak dilayani?" tanya Alexa pada Devon. Sedangkan melihat Alexa, Dinda sengaja memojok karena malas melayani Alexa. Kris hari ini sedang dapat jatah liburnya.
Kenapa sih dia harus datang di saat aku bisa berduaan dengan Devon? kata Dinda dalam hati dengan kesal.
"Silakan! Mau pesan apa cantik?" goda Devon.
Alexa memicingkan mata pada Devon. "Apa kamu begitu pada semua customer perempuan?"
"Tentu saja tidak! Cuma ke kamu aja kok! Jadi mau pesan apa?" kata Devon menyeringai.
Devon tidak bisa menyembunyikan senyumnya setelah itu. Ia senang banget sekaligus agak salah tingkah, seolah lama tak bertemu Alexa, padahal baru seminggu. Tiap pagi dia tidak pernah melewatkan untuk mengingat tentang Alexa.
"Kerja yang rajin ya, Mas!" sindir Alexa saat Devon mengantarkan secangkir Cappuccino dengan gambar hati di atasnya ke meja Alexa, tapi malah terdengar seperti godaan.
"Sekarang jadi genit ya?" kata Devon sambil mengernyit. "Aku kembali kerja dulu! Kita ketemu nanti!" kata Devon sambil mengedipkan sebelah matanya lalu kembali ke balik mesin kopinya.
Devon seolah pura-pura tidak melihat wajah masam Dinda karena baginya Dinda semakin menjengkelkan. Memangnya hanya dia yang punya perasaan?
Devon melangkah mendekati Alexa yang sedang melamun ke luar jendela sambil mendengarkan lagu dari earphonenya, sesekali ia menyesap kopinya.
"Besok aku pergi ke luar kota."
Alexa mendongak, melihat Devon.
"Ada workshop kopi."
"Sama siapa?"
"Dinda."
"Kayaknya dia suka sama kamu. Dia selalu melihatku dengan tatapan tidak suka. Dia kira kita ada apa-apa."
"Kita memang ada apa-apa kan?"
Alexa menatap Devon dengan kening berkerut. "Nggak ada lah!"
"Terus kamu anggap aku apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Forget You
Teen FictionMenderita short term memory loss syndrome, membuat Devon selalu membawa handycam miliknya untuk merekam hal yang tidak ingin ia lupakan. Ketika ia bertemu dengan Alexa, cewek pirang pemilik earphone biru muda itu, ia merasakan hal baru yang tidak ia...