Catatan Memori
Dia berulang kali memegang kening dan memperbaiki posisi topi. Dilihatnya sekeliling. Pandangannya tampak nanar. Ia berjalan pelan.
Orang-orang hilir mudik dengan langkah cepat. Suara deru kendaraan melintas di samping kanan jalan. Ia terbawa arus aliran pejalan kaki, tanpa tujuan. Kemudian tampak tersadar, ia berdiri di trotoar lebar itu. Termenung jangar.
Dipegangnya dada kiri. Ia tampak merasakan sesuatu di kantong kemeja. Sebuah catatan bergambar yang diikat cincin perak.
Dia memandang lembaran catatan di tangan. Ibu jari menggesek merasakan tekstur kertas. Ia menyusuri tempat di mana ia berdiri dan berhenti di sebuah bangku di sisi dalam trotoar.
Dia melangkahkan kaki ke arah bangku itu dan duduk menyerana. Kemudian menarik napas dalam-dalam dan membuka kembali catatannya.
Gambar pertama berupa beberapa ekor burung merpati. Ia memegang topi dan melepaskannya dari kepala dan meletakkan ke lutut.
Dipejamkannya kedua mata seolah berusaha mengingat maksud catatan itu.
"Ayo, kita beri makan merpati-merpati itu!" ajak seorang anak berseragam sekolah pada teman-temannya. Mereka berlari menuju taman kota.
Lelaki itu mendengar seakan mendapati arti gambar pertama. Ia harus melihat merpati-merpati itu.
Segera ia mengenakan kembali topinya dan beranjak pergi. Ia mengikuti jalur trotoar menuju ke arah anak-anak itu berlari.
Langkahnya terhenti di depan patung sepasang kekasih sedang menari. Lekuk pahatan patung tembaga itu tampak jelas seakan nyata. Pakaian sejoli yang melampai sesuai langkah.
Ia melepaskan topi. Sinar matahari memantulkan warna rambutnya yang perak. Ia melayangkan padang pada kumpulan anak berseragam sekolah. Mereka sedang memberi makan sepasang merpati. Lalu berdatangan merpati-merpati yang lain menanti potongan roti.
Kembali dibukanya catatan bergambar. Di lembaran kedua sketsa gambar buket bunga lili. Dibukanya kembali lembar ketiga dan melihat gambar cincin.
"Silakan.... Bunga untuk yang terkasih!" seru seorang penjual.
Di balik kumpulan merpati yang terbang rendah, tampak sebuah toko dengan berbagai jenis bunga potong. Tanaman hias berbunga dan berdaun indah tertata rapi.
Lelaki itu melangkah mendekati penjual bunga itu. Ia merogoh kantong celana dan menemukan beberapa lembar uang. Ia memesan satu buket bunga lili putih.
Penjual bunga itu tersenyum ramah dan memberikan buket bunga padanya.
Aroma manis bunga putih itu mengingatkannya pada seseorang. Ia harus memberikan buket bunga itu padanya.
Pandangannya merunut sekitar dan berhenti di seberang gerbang taman. Kembali dengan perlahan ia melangkahkan kaki dengan tertatih.
Dia melewati gerbang dengan menyusuri paving pejalan kaki. Tanaman rambat menutup kanopi di atas jalan paving. Gerombolan bunganya menjuntai turun di sela-sela atap kanopi.
Seorang petugas taman, tampak seperti kawan lama, menghampiri dan menuntunnya ke arah sebuah nisan besar.
Ia meletakkan buketnya di depan nisan. Jarinya yang keriput menyelusuri nama yang terukir. Ia menangis dan gemetar. Kini ia sendiri. Ia berdiri dan menekan topi menutupi kedua matanya.
"Kakek!" Seru seorang pemuda setengah berlari padanya.
Dia menoleh dan memandangnya. Pemuda itu berdiri beberapa depa di hadapannya dan menunjuk saku. Catatan itu.
Ia mengambil catatan dan membuka lembar terakhir, tampak sketsa wajah. Wanita berparas adiwarna dengan senyum berlesung pipit.
Kedua mata tuanya berkaca-kaca, menegakkan kepala dan melihat pemuda itu. Ia membalas dengan senyuman lesung pipit yang manis.
"Kakek, kenapa menangis? Ini aku Andrew, cucumu."
Dijulurkan kedua tangannya yang gemetar. Ia memeluk pemuda itu.