Putih

341 145 150
                                    

Bahkan saat aku tersenyum pun kamu kurang paham apa makna dibalik ketulusan.

Dan kamu tahu? Dia sudah berhasil. Dia sudah selangkah lebih maju dibanding aku. Jika aku hanya mampu mewarnai kemeja kesayanganmu dengan kopi hitamku, dia sudah mampu menyentuhnya. Mendekap hangat tubuh dan juga kemeja putih kesayangmu itu.

---

Selepas kejadian kemarin aku pun kembali seperti semula. Pikirku, kemarin mungkin aku begitu dibutakan oleh sebuah rasa-cemburu-mungkin. Padahal siapalah aku ini, hanya seorang gadis si besar harap yang tak henti mengharapkan kamu? Mungkin.

Oleh karena itu, kini aku kembali tersenyum saat tak sengaja mata kita bertemu. "Selamat pagi kesayangan." Sapamu, aku tersipu malu. Ini kan sekolah, tidak menutup kemungkinan siswa lain yang berlalu lalang dapat mendengarnya. Apalagi kamu mengucapkannya selagi jarak kita masih terhitung jauh, jadi suaramu dikencangkan dengan sengaja.

Itu juga termasuk kebiasaanmu, tanpa peduli sepi atau ramai, tanpa peduli tatapan orang lain, tanpa peduli pikiran dan ocehan orang lain padamu. Melakukan semua hal yang kamu mau tanpa ada seorangpun yang bisa menghentikannya. Namun begitu aku tetap nyaman berada disekitarmu.

Saat langkah kita mulai sejajar, kamu memamerkan senyummu padaku. Kamu tahu? Itu adalah senyum yang mampu menghangatkan suhu udara sekitar walau kini masih kehitung pagi yang artinya matahari pun masih malu-malu untuk muncul.

Atau mungkin matahari merasa kalah hangat olehmu, makanya dia tidak bergegas hadir dan memilih bersembunyi.

"Beres istirahat pertama kamu langsung ke lapangan ya." Ucapmu tatkala langkahmu mengiringi langkahku. Aku mengernyitkan kening, memangnya kenapa aku harus kelapangan?

Sepertinya kamu mengerti walau aku tak bersuara, "Itu jam tanding aku sama temen kelas kamu."

Ah itu rupanya, hampir saja aku lupa. Hari ini kan tidak ada kegiatan belajar mengajar karena pekan olahraga masih terselenggarakkan sedari kemarin.

"Aku penasaran, siapa ya yang kamu dukung. Aku atau teman-temanmu?" aduh kenapa kamu menggemaskan saat bicara begitu, tadinya aku malas menjawab.

Akan tetapi, "Aku dukung teman-temanku lah." Aku memeletkan lidah dan segera berlalu, tapi kamu malah mengikuti aku.

"Liat aja nanti, siap-siap sedih ya liat kekalahan temen kamu." Betapa sombongnya kamu kala itu, walau aku mengakui sih betapa hebatnya kamu bermain basket. Tapi tidak salah bukan jika aku mendukung teman kelas ku? Huh dasar kamu.

Langkahku terhenti tepat di depan pintu kelas yang masih terkunci rapat, untung saja aku bawa kunci cadangan sehingga tak perlu repot-repot membuat kaki ku pegal dengan menunggu si ketua murid datang.

Seperti biasanya, kelas ku memiliki peringkat rendah mengenai kebersihan. Lihat saja, betapa berantakkannya kelas ku. Letak meja kursi yang tidak beraturan, sampah terdapat di berbagai sudut ruangan bahkan di kolong meja siswa. Ah iya, kalau KBM tidak ada memang beginilah jadinya.

Dengan malas aku menyimpan tasku di meja guru, lalu dengan segera membereskan semua kekacauan yang ada.

Dimulai dengan merapihkan posisi meja dan kursi, selesai. Dilanjutkan dengan menghapus materi-materi sisa kemarin di papan tulis. Lalu menyapu dan membuang sampah yang ada. Semuanya hampir selesai tetapi tiba-tiba kamu datang mengagetkanku, membuat semua sampah terjatuh berserakan kembali di lantai.

"Hahaha aku mengagetkanmu rupanya." Senyum itu menghadirkan satu lesung pipi di sebelah kanan, kenapa hanya satu? Ya karena memang kamu hanya memiliki satu lesung pipi.

Kopi HitamkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang