Kunci Bersepatu

54 5 4
                                    

Srak.. srak..

Erina membolak-balikkan beberapa lembar buku dengan ketebalan 4 cm di hadapannya. Tangannya berhenti bergerak tepat di halaman 134. Di sana tertulis Kolonialisme dan Imperialisme Belanda.

Kemudian dia mendengus. Meraih ponsel yang teronggok di atas bufet. Ibu jarinya menggeser layar ke kanan, atas, kanan, klik, dan muncul sebuah laman berwarna putih bertuliskan Instagram di paling atas.

Scroll

Scroll

Scroll

Scroll

Erina teringat akan sesuatu dalam benaknya. Ia mencari sebuah nama di kolom pencarian. Evans. Ada banyak hasil yang nampak di sana. Tetapi, tidak ada foto profil yang menggambarkan kalau itu adalah akun milik Evans.

Lalu, dia mengetikkan satu kata lagi. Hendra. Evans Hendra. Dan ketemu! Ekspresi Erina seketika menjadi riang.

Erina langsung menekan baris bertuliskan Hendra_Evans dengan foto profil berwarna hitam dan berlambang E.

Namun, yang terjadi di luar dugaan. Akunnya ter-private.

Gadis itu menggaruk kepalanya yang memang benar-benar gatal. Wajahnya dibuat kesal di bawah naungan sinar lampu keemasan yang hanya menerangi sekitar meja belajarnya.

"Emang yaa... udah dikeramasin, masih gatal aja."

"Kutu rambut kalii... hihi..."

Erina terperanjat dan segera membalik layar ponselnya di atas meja. Yang menyahutnya kini sudah berdiri di belakangnya. Sesosok anak laki-laki kurus dan pendek. Rambutnya berdiri seperti landak.

"Ngapain kamu di sini? Sana keluar!" bentak Erina sambil beranjak berdiri menghadap lawan bicaranya.

"Kakak ngapain liat-liat cowok? Waaa... Kak Erin punya pacar ya?"

"Idih.. anak kecil nggak boleh ngomong gitu! Siapa yang ajarin?"

"Kakak. Kan tiap adek mau nonton kartun di laptop, Kak Erin malah nonton korea-korea."

Erina berdecak.

"Yaa.. kamu nggak usah nonton, dong. Fandi kan bisa nonton kartun di tv."

"Tv-nya kebanyakan iklan. Nggak suka!"

Fandi mengerucutkan bibirnya layaknya anak kecil pada umumnya. Sementara itu, kakak perempuannya terlihat sudah malas berbicara panjang lebar.

"Udah sanaaa...!" perintah Erina seraya mendorong punggung Fandi sampai anak itu berhenti di pintu, lalu ia menutup dan menguncinya rapat-rapat.

"Pokoknya Fandi mau bilang ke Mama!"

"Bodo amat!"

"Mamaaaaa...!!!" terdengar suara Fandi hendak mengadu.

Di dalam ruang persegi yang sempit itu, lampu berpendar di atas kepala Erina. Ia menutup buku yang belum selesai dibacanya.

Direbahkan tubuhnya ke atas kasur. Wajahnya kini berhadapan dengan langit-langit kamar seolah mereka sedang bercengkrama. Berharap besok ia dapat mencoret nama Evans dari pikirannya.

❄❄❄

Erina bangun dengan ceria seperti apa yang dilakukan biasanya. Akan tetapi, raut wajahnya berubah 180° saat ia menghadap buku catatannya dimana ujung pulpen menggores kertas putih di sana.

Sementara ia mengerjakan suatu tugas bertuliskan Sejarah, seorang guru menjelaskan mengenai saham, obligasi, dan sejenisnya.

"Erina!"

EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang