Double update!! Tapi pendek, hehe.
°~°~°~°
"Georgio Gabriel Wiguna, anak dari Fajar Wiguna."
Deg
Wiguna? Fajar Wiguna?
"Lo nggak salah denger," jelas Gio mengerti dengan keterkejutan Alma.
"Gue mau ngomong, tapi nggak disini, taman belakang mau?" Alma berpikir sejenak, sebenarnya ia ada pertemuan dengan guru pembimbing tentang olimpiade lusa. Namun masalah ini lebih penting dari apapun.
"Oke," finalnya mereka pergi ke taman belakang, tepat saat bel berbunyi, mereka sampai di taman.
"Jelasin sama gue maksud semua ini." Alma menatap Gio yang masih bersikap dingin, cowok itu bahkan tak menatap Alma sama sekali.
" Sekitar dua puluh tahun yang lalu, adik bokap gue nikah sama orang yang dibenci bokap. Tapi karena bokap terlalu sayang sama adiknya, bokap akhirnya merestui hubungan keduanya walau setengah hati." Gio menjelaskan dengan tetap menatap kosong ke depan, cowok itu mengambil nafas panjang sebelum melanjutkan ceritanya.
"Dua tahun berlalu, adik bokap hamil, dan bokap gue nikah sama nyokap gue yang orang luar negri, namanya Gabriela, bokap nggak terlalu cinta sama nyokap sampai akhirnya nyokap gue menderita dan sering ke club. Di club nyokap gue ketemu sama pria brengsek, nyokap gue di lecehin disana, dan setelah itu nyokap hamil. Bokap yang nggak pernah nyentuh nyokap jadi benci sama nyokap."
Gio memejamkan matanya, Alma tau pasti sangat sulit menceritakan semua masalahnya itu. Gio menatap Alma sekilas lalu dirinya menatap ke bawah.
"Nyokap minta bantuan ke adiknya, disana adik bokap yang baik banget itu bantuin nyokap gue dan mereka dateng ke club. Mereka ketemu sama pria yang udah ngelecehin nyokap. Adik bokap hilang kendali sampai nggak sengaja bunuh pria itu."
Detak jantung Alma semakin berpacu dengan cepat, perasaannya menjadi semakin takut karena dirinya sudah membayangkan yang terjadi setelahnya dan siapa sebenarnya yang dibicarakan Gio.
"Lalu?"
Tak terasa satu tetes air mata gio jatuh, membuat Alma semakin was-was dengan kelanjutan ceritanya.
"Lalu?" beo Gio, Alma mengangguk.
"Seminggu berlalu, orang-orang berpikir kematian cowok itu karena jatuh dari tangga, karena emang lokasi kejadian ada di dekat tangga, nggak ada yang tau dengan pasti gimana kejadian sebenarnya. Namun. Ada seorang wanita mendatangi adik bokap dan menyuruhnya untuk bertanggung jawab. Waktu itu adik bokap udah mau lahiran, tinggal nunggu satu mingguan lagi."
Alma menatap Gio dengan wajah penasaran, ia masih setia mendengarkan cerita cowok itu. Tak terasa sudah satu jam pelajaran mereka disana, terdengar dari bunyi bel pertama.
"Oh iya, Lo tahu, Waktu bokap tau nyokap nggak hamil anaknya, bokap langsung gugat cerai nyokap."
"Gio...." Alma menggenggam tangan Gio, memberikan kekuatan pada Cowok itu.
"Masih mau dengar?" tanya Gio, kini cowok itu tersenyum menatap Alma. Alma membalas senyuman Gio dan mengangguk mantap.
"Singkat cerita, adik bokap minta suaminya buat tanggung jawab sama wanita itu, wanita yang tengah mengandung sekitar tujuh bulanan. Suaminya awalnya nolak, sampai saat adik bokap atau istrinya itu ngelahirin dan akhirnya meninggal. Suaminya memutuskan untuk menikahi wanita itu."
"Gue rasa setelah nya Lo lebih tau gimana lanjutan ceritanya." Alma mengendurkan genggaman tangannya.
"Ma-maksud Lo?" tanya Alma, berharap apa yang ia pikirkan salah.
"Adik bokap gue namanya Zevanya Senja Wiguna, suaminya Ihsan Hidayat, ayah Lo. Gue tau Lo udah tau sedikit tentang cerita ini."
"Gu-gue..." Alma tak sanggup melanjutkan lagi. Bukan, bukan ini yang ingin ia dengar.
"Lo masih beruntung, Lo punya om Ihsan sampai hari itu. Sedangkan gue? Nyokap gue gila, dan karena kegilaannya gue jadi trauma sama wanita. Dia siksa gue dari kecil, gue bener-bener takut sama cewek sejak kecil."
"Tapi lo-"
"Gue ngerti apa yang Lo omongin, gue nggodain semua cewek untuk menutupi trauma itu."
"Gue balikin semua yang seharusnya jadi milik Lo," ujar Gio, cowok itu lalu menghapus air matanya dan berdiir untuk pergi. Namun Alma segera mencegah cowok itu.
"Dari mana Lo dapet cerita ini?"
"Diary nyokap sama cerita bokap. Bokap gue bener fajar Wiguna, bukan pria itu."
"Berarti kita sepupu?" Gio mengangguk.
°~°~°~°
Sore itu, senja tak terlihat, mendung menutup langit. Setetes demi setetes air hujan mulai turun. Membasahi kota Jakarta dan sekitarnya.
Namun tetes hujan tak menghentikan langkah seorang gadis dengan seragam urakan dan mata sembabnya. Kakinya terus saja membelah kepadatan kota Jakarta.
Kebenaran memang sangat menyakitkan. Menyiksa hati yang mulai membaik. Semuanya kembali meruntuh, rasanya begitu menyakitkan.
Ini yang Alma takutkan dari awal, sebuah kebenaran yang tak sesuai dengan harapannya.
"Kenapa yah? Kenapa ayah nggak pernah cerita semua ini sama Alma?" Alma berteriak di pinggir jalan, untung saja jalanan sepi karena hujan yang sudah sangat deras.
"Ayah jahat, ayah seharusnya cerita semuanya sama Alma, bukannya setengah-setengah, yah...."
Tubuh Alma merosot jatuh, ia benar-benar menghabiskan tenaga untuk menangis seharian ini. Alma diam dan membiarkan hujan menyamarkan air matanya.
Satu detik
Dua detik
Tiga detik
Alma tak merasakan hujan menetes di kepalanya lagi, padahal Alma masih mendengar dengan jelas suara tetes hujan. Alma mendongak dan mendapatkan Bima memayungi dirinya.
"Bima?"
"Jangan hujan-hujanan, ntar Lo sakit." Bima menyodorkan tangannya pada Alma namun gadis itu justru mendorong dirinya hingga ia menjadi basah kuyup karena payungnya terlempar.
"Gue nggak peduli," ujar Alma dengan suara serak dan air mata yang masih mengalir dengan lancar.
Bima menarik Alma kedalam dekapannya. "Gue tau apa yang lo rasain, gue denger semuanya."
°~°~°~°
KAMU SEDANG MEMBACA
Romansa Senja
Novela Juvenil"Gue nutupin perasaan yang ada karena gue takut gue bakal ditolak."-Alma zevanya "Gue selama ini mencintai orang yang salah karena dia nggak pernah bicara soal perasaannya." -Bima Ragatta Published 15 Juli 2019 Story by Anggita Dwi Ristanti