Sudah sepekan, Luiz mogok beraktifitas. Anak itu memendam rasa rindu yang amat besar, pada kedua kakaknya. Ia hanya duduk diam diatas lantai yang dingin, di bawah jendela kamarnya, sambil berpangku tangan untuk menopang dagunya. Mata pandanya selalu melihat keluar jendela, berharap kakak-kakaknya kembali pulang.
"Luiz kangen, kapan Kakak pulang?" suara batin yang terus menyerukan nama kakak-kakaknya, terutama Fahira. Gadis itu benar-benar tidak ingin pulang, selagi masih ada Luiz.
Seperti tempo hari, ia mendapat telepon dari Ayahnya, meminta Fahira untuk pulang, karena Luiz terus mengigaukan namanya. Tapi, hasilnya tidak dapat sama sekali, gadis itu menolaknya. Ia tidak ingin satu atap dengan Luiz.
"Luiz? Sarapan dulu yuk, Sayang?" usapan lembut Bundanya, mengalihkan pandangannya dan menatao sosok wanita yang sangat sayang padanya.
"Sarapan?" ulang Meri, Luiz menggeleng, anak itu malas dan sudah lelah. Dia benar-benar lelah, mata pandanya mulai terpejam. Memori masa lalalunya kembali menghantuinya, ketika ia memejamkan mata.
"Die!"
Satu kata yang selalu terngiang di kepala Luiz, adalah harapan Fahira yang ingin Luiz segerapa pergi.
"Bunda, kalau Luiz seperti mereka, apa kakak mau bermain bersama ? Luiz ingin bermain bersama Kakak."
Anak itu membuka matanya, bahkan air matanya yang jatuh pun tak ia sadari. "Luiz, Bunda ada di sini." usapan Lembut Meri, membuat Luiz terdiam.
"Luiz, ngga sendiri, masih ada Bunda dan Ayah. Yah, Sayang?" ucap Meri lirih, wanita itu menangkup kedua pipi tembam putranya, lalu memeluknya.
Untuk kali pertamanya, Luiz membalas pelukan hangat Meri, itu sangat terasa oleh Meri, ia semakin mempererat pelukan itu.
"Fahira, bisa kah, kamu melihat betapa sayangnya adik kamu ini? Dia menangis sepanjang hari, hanya ingin bertemu dan bermain. Meski ia tidak mengungkapkannya." batin Meri. Lalu ia pun melepas pelukan itu.
"Sarapan yah, kalau Luiz, ngga sarapan, terus sakit, Kakak ngga mau main lagi lho nanti." bujuk Meri. Tetap saja, Luiz tidak berniat untuk beranjak pergi dari tempatnya.
"Kaya sungai Bun, di dalam tubuh Luiz ada sejuta rasa yang Luiz ngga bisa ungkapin, Luiz sedih Bun," batin itu kembali bersuara. Matanya menatap sendu pada Meri.
"Bu-n-da." panggilnya. Dia memengan jemari Meri, lalu tersenyum.
"Yu-k, sa-ra-pa-n." katanya, setelah itu, Meri pun bangkit, ia membantu Luiz, putranya untuk berdiri. Mereka pun melangkah meninggalkan kamar, menuju meja makan.
"Wah, anak Ayah udah tampan, sini Luiz, " seru Fernan. Pria itu menepuk-nepuk kursk di sebelahnya. Sesampainya di meja makan, Luiz pun duduk tepat seperti permintaan Fernan. Suasana pagi mereka hening, tidak ada celoteh nakal dari bibir Fahira, atau gumaman keras Eros. Untuk yang ke sekian kalinya, acara sarapannya di sertai keheningan.
. . .
Tadi malam.....
"Eros ngga bisa pulang Bun." terdengar nada kecewa di sana.
"Beneran ngga bisa pulang? Bunda udah kangen banget Er," suara lirih Meri, begitu menekan perasaannya. Memang benar, Ibu tiga anak itu sedang merindukan kedua anaknya yang lain. Terutama Fahira.
"Beneran Bun, Eros masih ada jadwal besok," sahut Eros dari sebrang sana.
"Padahal, besok adik kamu ulang tahun lho, kamu beneran ngga bisa pulang? Bunda beneran kangen ini," kata Meri.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY IDIOT LITTLE BROTHER ✔[Proses Revisi]
Fiksi UmumJika penyesalan datang hanya di akhir, lalu untuk apa menyempurnakan maaf, jika terus di hantui dengan rasa bersalah. ~Fahira Aveza Fernando~ Dunia baru untuk Veza, dan dunia yang rumit untuk seorang Luiz Fernando, dengan keterbatasannya, dia menjad...