Suasana di bandara sangat ramai. Banyak orang yang tengah menunggu rekannya datang, mengantre, dan bahkan berlalu-lalang.
Tidak kusangka kalau bandara di
Sydney sebagus ini. Ya, kami sudah tiba di bandara Sydney.
"Florence!" panggilku pada seorang gadis cantik berkulit putih dan berambut sedikit pirang.
"SARAH!" pekik gadis itu.
Aku menghampirinya, lalu memeluknya.
"Udah lama banget kita nggak ketemu," ujar Florence, sambil melepas pelukan kami. "Hai, Edward," sapanya. "Kenapa kalian tiba-tiba ke sini?" tanya gadis manis
di hadapanku.
Sejak kelas 2 SMA Florence pergi ke Sydney bersama keluarganya. Dari kabar yang tersebar, Florence sudah menetap di sini.
"I miss You," kataku.
"Hahaha! Pembohong!" ujarnya berkelakar. By the way kalian...?"
"Kamu salah," jawabku cepat. Florence mengerutkan dahinya. "Aku tahu apa yang kamu pikirin, tapi kita nggak ada apa-apa," tambahku.
"Hehehe. Terus ada apa kalian ke sini?" tanya Florence. "Kita mau cari seseorang," ujar Edward.
"Oh, begitu. Berapa lama di sini?"
"Mungkin, satu sampai dua minggu, Flo," jawabku. "Kalau begitu, kalian mau nginep di rumah aku nggak? Kebetulan keluargaku lagi pulang ke Indonesia. Rumah jadi kosong."
"Beneran, Flo? Ah, senangnya. Jadi nggak perlu bayar hotel yang mahal deh," kataku sambil tersenyum lebar.
"Tentu bayar dong. Bayar sesuai harga hotel ke aku," ledek Florence seraya tertawa.
"Ah, kalau begitu nggak jadi deh di rumah kamu. Haha!" Aku ikut tertawa.
"Florence, ada tempat makan enak deket sini nggak?" tanya Edward tiba-tiba.
"Kamu lapar, Dward?" tanyaku.
"Iya nih."
"Ada dong, Dward. Tenang, aku tahu kok selera kalian," jawabnya dengan semangat.
Hari ini langit cukup cerah. Florence mengajakku makan di salah satu restoran pasta terkenal dekat rumahnya.
"Jack, give us your best plate," kata Florence kepada salah satu pelayan pria tampan berambut pirang. Setelah memeriksa pesanan, pelayan itu pergi dari meja kami.
"Kamu akrab banget sama dia," ujarku.
"Aku sering makan di sini, Sar. Soalnya..." Florence mendekatkan bibirnya ke telingaku "Jack ganteng banget," ujar Florence sambil tertawa kecil.
Aku ikut tertawa mendengarnya, tetapi tidak dengan Edward. Ia tidak banyak berbicara sejak kemarin.
"Sar, habis ini kita ke alamat ini ya?" Edward memperlihatkan sebuah kertas bertuliskan alamat seseorang yang aku yakini adalah alamat rumah Angga. "Florence, kamu tahu alamat ini?" tanyaku sambil menyodorkan kertas itu kepada Florence.
"King Street ya? Tahu kok. Sebenarnya, kalian mau cari siapa?"
"Angga," jawabku.***
Saat tiba di sebuah apartemen megah, aku segera menghampiri bagian resepsionis. Namun, hasil yang kudapat, nihil. Resepsionis itu mengatakan bahwa kamar yang ditempati Angga sudah kosong sejak satu minggu yang lalu. Dan kami tidak diijinkan untuk melihat kamar apartemen Angga. Akhirnya, aku meminta nomor pemilik kamar apartemen yang bernama Riana Sucipto. Nama itu adalah nama Tante Ria.
Tanganku bergetar memegang nomor tante Ria, apakah dia akan mengangkat telpon ku kali ini?
Aku mencoba menghubungi nomor Tante Ria. Hasilnya pun sama. Tante Ria tak kunjung menjawab teleponku. Aku mulai menyerah. Di saat itu pula, Edward melihat wajahku yang sarat akan keputusasaan.
"Sar, nggak apa-apa. Kita pasti bisa nemuin Angga," katanya sambil mengelus tanganku lembut.
Air mataku menetes tanpa sadar saat aku menatap Edward. Segera aku menyeka air mataku, lalu mengembangkan senyum di wajahku.Mencari Angga membuat tubuhku mejadi cepat lelah. Belum lagi cuaca di Sydney yang cukup dingin. Tidak seharusnya aku sakit di saat seperti ini. Akhirnya, aku memutuskan untuk pulang bersama Florence. Namun, tidak dengan Edward. Ia tetap melanjutkan pencarian alamat Angga yang baru.
"Florence, aku tidur duluan ya, kepalaku sakit," pamitku.
"Oh, ya udah. Biar aku yang tunggu Edward pulang aja, Sar. Nggak apa-apa. Kamu istirahat ya, Sar."
Saat aku melangkahkan kaki menuju kamar, ponselku berbunyi. Nama Edward tertera di layar ponselku. "Halo?"
"Halo, Sar? Aku udah tahu kondisi Angga sekarang. Ternyata dia..."***
Seperti tersambar petir di siang bolong. Aku menjatuhkan ponsel yang kugenggam. Aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang telah kudengar dari Edward. Kedua kakiku tak mampu menopangku. Aku terjatuh. Otakku kosong. Lidahku kelu. Bahkan, aku hampir kehilangan kesadaranku. Perasaanku campur aduk saat mendengar kondisi Angga. Sangat menyakitkan untukku. Seketika seluruh tubuhku terasa lemas. Tatapanku mulai kabur. Sedetik kemudian, semuanya berubah menjadi gelap.
Aku membuka mataku. Kulihat Edward tengah duduk di tepi kasur. Dengan cepat aku memeluk Edward, lalu menangis dalam diam. Aku tidak kuat menahan perasaan yang tengahku tahan sendirian saat ini.
"Are you okay?" tanya Edward. Aku menggeleng. Terasa sebuah belaian lembut di kepalaku.
"Ikut aku ya, Sar, kita ke sana." Tangisku semakin pecah.***
Setelah selesai bersiap, aku membuntuti Edward kemana ia melangkah. Edward mengajakku ke sebuah rumah sakit. Dengan berat aku melangkahkan kakiku perlahan. Kulihat seorang wanita tengah berbicara kepada dokter.
Aku menunduk takut. Aku takut jika Tante Ria akan mengusirku saat melihatku, tetapi ia justru menghampiriku dan meminta maaf padaku.
"Sayang, maafin Tante ya. Tante cuma mau yang terbaik untuk Angga, tapi ternyata Tante salah," ujar Tante Ria terisak.
"Tante, Angga sakit apa?" tanyaku memberanikan diri.
"Kanker getah bening," jawab Tante Ria, lalu menangis di sampingku.Aku terdiam. Otakku masih mencerna kata-kata Tante Ria. Pikiranku masih memastikan ini mimpi atau bukan. Aku sama sekali tidak bisa berpikir. Kutolehkan wajahku ke arah Edward. Wajahnya pun tampak bingung sepertiku. Matanya sedikit kemerahan selaras dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya.
"Sarah, kita masuk ya. Liat Angga," kata Edward pelan, lalu menuntunku ke sebuah ruangan yang bertuliskan ICU.
Di dalam sana, ada laki-laki yang kucintai. Laki-laki yang telah hilang satu tahun lalu. Laki-laki yang sangat aku rindukan. Aku membalikkan tubuhku menjauh dari pintu itu.
"Tunggu! Buat apa aku masuk?" tanyaku.
"Sar," ujar Edward pelan.
Aku menatap sekelilingku. Semua orang tengah menatapku.
"Kalau aku masuk, apa Angga akan ninggalin aku ke tempat yang lebih jauh?" Tiba-tiba tubuhku terasa kaku.
"Sarah," panggil Tante Ria lirih. Ia menghampiriku, lalu memelukku. "Maafin Tante ya, Sar. Di sini Angga lagi berjuang buat ketemu lagi sama Sarah, Angga nggak bermaksud untuk ninggalin kamu, Sayang," tukas Tante Ria sambil memeluk dan membelai rambutku lembut. Tangisku kembali pecah. Aku sangat ingin menemui Angga dan meminta penjelasan, tetapi bukan seperti ini.
Aku sangat membencinya.
"Kalau Sarah mau masuk, Angga di dalam. Tapi, masih belum sadar karena habis kemo pagi tadi."
"Angga," desisku pelan nyaris tak terdengar. Tubuhku melemas saat melihat Angga tak berdaya di dalam sana.
"Mau masuk?" Tanya Edward sekali lagi.
Aku mengangguk.
Edward membantuku berjalan masuk ke dalam ruang ICU. Kulihat Angga yang terbaring lemah. Aku menghampiri Angga dengan perasaan berkecamuk. "Edward, aku mau di sini sama Angga."Aku kembali menatap wajah laki-laki itu. Dengan amat pelan aku menyentuh wajah tirus nan pucat laki- laki itu. Aku tidak ingin menyakitinya walau hanya dengan sentuhan halus. Ada banyak selang menempel di tubuhnya. Suara detak jantung terdengar dari sebuah monitor kecil. Angga masih menutup matanya.
Kutangkupkan telapak tangan Angga yang tengah kugenggam di pipiku. "Angga, kamu tau? Aku benci kamu! Kamu udah bikin aku menderita, kamu udah bikin aku kangen dan marah sama kamu disaat yang bersamaan, Kamu jahat Angga! Kamu jahat! Kamu harus bayar rasa sakit ini!" kataku dengan getir sekaligus marah.
"Angga, kamu harus minta maaf sama aku!" kataku lagi. Angga masih terdiam. Sudah dari beberapa jam yang lalu aku masih berada di posisi yang sama. Edward masih setia menemaniku di ruangan yang menakutkan ini.
"Edward, aku mau ke toilet. Titip Angga ya."
Di luar kamar terlihat Tante Ria berbicara dengan beberapa laki-laki berjas putih, sepertinya tim dokter yang menangani Angga.Aku kembali bergegas masuk ke dalam ruangan ICU setelah dari kamar kecil.
"Sarah, Angga di pindah keruangan rawat, dia udah sadar," ujar Edward yang tengah berada di depan pintu ICU saat aku masuk.Aku semakin bingung. Terlalu banyak hal yang membuat otakku sulit memahami apa yang terjadi hingga lidahku pun tak mampu mengeluarkan sepatah kata. Edward menarikku ke ruangan Angga.
***
Aku menatap laki-laki itu lagi untuk kesekian kalinya. Tiba-tiba saja kepalaku terasa berat. Aku merebahkan kepalaku di tepi kasur. Sedetik kemudian, laki-laki itu mengelus kepalaku dengan nyaman. Kulihat tangan laki- laki yang terpasang selang infus itu. Namun, mataku terasa semakin berat, lalu aku pun tertidur.
Saat aku terbangun, aku sudah berada di rumah Florence. Edward tidak ada di mana pun pagi ini. Apa mungkin kejadian yang aku alami kemarin hanya mimpi buruk? Batinku.
KAMU SEDANG MEMBACA
"My Purple Goodbye" [COMPLETED]
Romance[CERITA TELAH SELESAI] Sarah Regina, adalah seorang pecinta senja seperti kebanyakan gadis diusianya. Dia juga memiliki senjanya sendiri yaitu Angga Bagas Sucipto. Laki-laki yang membuat semua waktunya terasa lebih berarti juga laki-laki yang membu...