1. Rutinitas

24 1 1
                                    

Kelopak matanya terbuka, lalu berkejap untuk menyesuaikan dengan cahaya yang berasal dari jendela. Setelah sepasang pupil mata heterochromia itu dapat menerima cahaya dengan baik, dia melihat sekitarnya.

Saat dia menoleh ke kanan, didapatinya sebuah jendela yang terbuka lebar dan sebuah meja kecil tempat dia menaruh barangnya. Jendela itu tidak menunjukkan pemandangan yang bagus baginya, maka dia menoleh ke kiri.

Matanya menangkap pemandangan seorang pria. Pangeran tidur yang sedang terlelap dalam mimpinya, menunjukkan raut wajah tak berdosa. Seolah pria di sampingnya ini bukanlah pria yang dapat mengamuk di malam hari. Wajah yang polos, namun menyisakan banyak ruang untuk ketampanannya.

Diapun menyeret tubuhnya untuk duduk bersandar di ranjang, menghidupkan sepuntung rokok dan membuat ruangan itu dipenuhi oleh asapnya.

Dipandanginya lagi pria itu. Dia sudah lama bersama dengannya, bahkan sampai saling merasakan kehangatan tubuh di ranjang. Pria itu juga bukan pria sembarangan, dia adalah definisi pria idaman. Adalah keberkahan mutlak bagi wanita yang dapat memiliki hati sang pangeran ; dan wanita itu adalah dirinya.

Namun, dirinya tahu lebih baik mengenai kenyataan dari keberkahan tersebut.

Selama apapun mereka bersama, dia tidak bisa merasakan apapun yang spesial. Lucu baginya, dia pikir dirinya aneh. Hanyut dalam pemikirannya, dia tertawa miris kepada dirinya sendiri.

"Ra.. Ngerokok lagi..?"

Menanyakan hal itu, pangeran tidur akhirnya terbangun, seraya masih setengah sadar. Rachel segera mematikan rokoknya di asbak dan tersenyum.

Rachel mengelus kepala pria itu dengan pelan."Did I wake you up, Satria?" bisiknya.

Pria bernama Satria itu menggeleng pelan. Satria memposisikan dirinya agar sejajar dengan Rachel, lalu menyentuh pipinya dengan lembut, membuat Rachel menoleh padanya

Mereka saling bertukar pandang. Rachel memperhatikan mata Satria yang menatapnya. Tidak ada yang istimewa, bila dibandingkan dengan irisnya sendiri, kecuali tatapan matanya yang hidup dan dipenuhi hasrat. Sementara Satria, dia tenggelam dalam tatapan kekasihnya, sedikit rasa bangga dirasakannya. Dia bangga akan pemikiran bahwa hanya dirinya yang dapat melihat sepasang bola mata dengan warna yang berbeda itu.

Satria mendekatkan bibirnya pada bibir Rachel, hingga Rachel dapat merasakan nafasnya yang menggebu-gebu. Dia ingin menciumnya, melumat bibir merah kehitamannya hingga lidahnya dapat menjelajahi rongga mulut wanita tersebut.

Begitu saat dirinya ingin mencium wanita itu, hasratnya dihentikan oleh telapak tangan Rachel yang segera menutupi bibirnya.

Dia terkejut, sementara Rachel tertawa kecil, menunjuk pada puntung rokoknya di asbak.

"Nanti bau rokok," ujarnya pelan, seraya menahan Satria. Kecewa, pria itu hanya menghela nafas pelan dan bersandar di pundak Rachel.

"Siapa suruh ngerokok pagi-pagi..." gumamnya. Rachel membalasnya dengan tertawa dan tersenyum tipis.

Saat-saat seperti ini sudah menjadi rutinitas baru Rachel semenjak Satria mempersembahkan segalanya untuknya. Rutinitas yang tak pernah dia sangka, yang dipikirnya tak berhak untuk dia jalani. Mungkin untuk kedua kalinya, dia merasa nyaman.

Namun Rachel tahu betul, dia tidak memiliki perasaan yang sama seperti Satria.

Sekali lagi, rasanya lucu. Lucu sekali. Padahal mereka sudah sedekat ini, namun dirinya tidak merasakan hal yang sama seperti yang dulu. Rasa yang tak dapat dia lupakan, dan rasa itu berubah menjadi ketakutannya. Dia tidak ingin ingat, namun dia tidak tahu bagaimana caranya.

Mungkin dia hanya memanfaatkan pria itu sebagai pelarian dari rasa takutnya, berharap dia bisa merasakan kenyamanan sampai mereka berpisah. Rachelpun tidak berniat untuk berpisah dalam jangka waktu yang cepat, lagipula mereka akan berdiri di pelaminan beberapa bulan lagi ; demi mengamankan kenyamanan semunya.

Tanpa sadar dia mulai hanyut dalam pemikirannya lagi. Ini juga rutinitasnya, mempertanyakan segala hal yang sudah dia lalui. Apakah dia berhak, apakah ini kenyataan, apakah dia sebenarnya sudah mati ; sehingga dia bisa ada di kenyamanan semu ini, atau...

...apakah dia bisa lari darinya terus menerus?

Puk,

Rachel tersentak begitu Satria menegakkan badan dan menepuk pundaknya. Dia spontan menoleh, memperhatikan raut wajah pria itu. Raut wajahnya melukiskan rasa khawatir dengan tatapannya, namun bibirnya tidak mengucapkan apapun. Mungkin dia tahu, maka dari itu matanya mengatakan Rachel untuk berhenti menyelam dalam pemikiran rumitnya.

Singkatnya, dia berusaha peduli.

Satria mengecup kening kekasihnya. Rachel yang menerima kecupan itu mengerti, bagaimana Satria berusaha untuk mengekspresikan kepeduliannya. Wanita itu tersenyum, mengatakan thanks dengan suara yang kecil.

"Sudahlah," kata Rachel. Akhirnya dia menyudahi sesi tenggelamnya di ranjang dengan duduk di sisi tempat tidur. Dia mengambil bungkus rokoknya lalu berdiri, berjalan ke arah jendela.

Angin pagi masuk dengan bebasnya melalui jendela bingkai jendela, seolah menyambut Rachel yang tengah memperhatikan pemandangan yang beberapa menit lalu tidak dia sukai. Sesungguhnya, hiruk pikuk kota pariwisata dengan berbagai macam kesibukan orang adalah pemandangan yang disuguhkan untuk matanya. Mereka terlalu sibuk sampai tidak menyadari ada wanita tanpa busana-tidak juga, dia memakai bra-yang mengamati mereka dari lantai 4, mengejek mereka sebagai semut-semut kecil. Atau, mereka sudah terbiasa melihat wanita dengan bra dan tato di lengan kirinya.

Tak lama dirinya menikmati pemandangan itu, dia akhirnya berbalik dan mengambil lembaran pakaian yang berserakan di lantai, lalu memakainya. Pakaian kaos oblong dengan celana pendek yang tipis serasa menyerap dinginnya ubin lantai setelah semalaman tergapar di sana. Dingin, tapi sejuk.

Satria, yang masih bermalas-malasan, mengamati punggung wanita itu. Bentuk tulang punggungnya dapat terlihat dari kaos yang dia gunakan sementara tangannya sibuk mengemasi barang-barangnya ke dalam tas kecil, lalu mengambil hpnya.

"Mau pergi?" tanya Satria, memulai percakapan.

Rachel mengangguk, sementara matanya masih tertuju pada hpnya. "Jam 9 ada shift di tempat kerja".

Kakinya menyentuh lantai seraya dia menghela nafas panjang. "Yakin masih mau kerja di minimarket gitu? Sendirinya bilang kalau ngga suka sama manajernya," keluhnya, setengah berteriak.

Satria hanya tidak suka kekasihnya melakukan hal yang tidak perlu, padahal Rachel bisa bergantung padanya dalam masalah finansial-dan Rachel tahu. Satria sendiri berpikir bahwa keputusan Rachel untuk menolak pekerjaan yang dia tawarkan sebelumnya benar-benar bodoh.

Wanita itu, yang sekarang ada di dalam kamar mandi, hanya tertawa kecil. "Ya gimana, kan kerjaan. Managernya juga aneh, kalau aku bolos, nanti dipecat. Susah tau cari kerjaan dengan keadaanku yang kaya gini."

Setelah beberapa saat, Rachel keluar dari kamar mandi dengan mata coklat tuanya dan berjalan untuk mengambil tasnya. Dia menguap, masih mengantuk. Angin yang datang dari jendela membuatnya tambah mengantuk.

Dia menghampiri Satria dan menciumnya. "Aku pergi, ya," pamitnya.

Satria membalas ciumannya, meski masih kesal saat mengingat seberapa keras kepalanya Rachel-juga seberapa keras kepalanya dia. Dirinya, yang tak bosan-bosan meyakinkan Rachel, kemudian berkata,

"Kamu gausa kaya gitu, kamu udah ga sendiri. Leave it all to me, I've promised to make you happier,"

Lagi-lagi, Rachel hanya tertawa kecil sambil melangkah menuju pintu. Begitu tangannya memegang kenop pintu, dia berbalik. Wanita itu menatap Satria dengan mata yang tak hidup, seperti mati. Bibirnya terbuka untuk membalas perkataan Satria, dengan suara yang pelan.

"I know. But I just can't let myself happy".

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 02, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Come Here, RachelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang