12. Hidden Secrets

599 104 18
                                    

"Tahan Yuki di sana. Jangan biarkan dia pulang dan kalian tetaplah di dalam rumah. Jangan pergi kemana-mana."

.
.
.

Hannah menatap Yuki dengan tatapan yang sulit di artikan, wanita itu bergegas mengecek semua pintu dan jendela, menguncinya rapat-rapat —sesuai dengan perintah yang di berikan oleh tunangannya.

Hannah tidak tahu apa yang sedang menimpa mereka saat ini, namun ia yakin sesuatu yang buruk telah terjadi, melibatkan Jullian dan juga William —atau mungkin, sekarang ia bisa menyebut pemuda itu dengan nama aslinya —Stefan.

Sejak awal, Hannah memiliki firasat buruk terhadap pemuda itu, karena itulah ia bersikeras menyuruh Yuki agar melaporkan mengenai pemuda itu kepada pihak yang berwajib —namun entah mengapa, Yuki tetap keukeuh pada pendiriannya untuk melindungi pemuda itu. Beberapa minggu kemudian setelahnya, hal mengejutkan terjadi. Pertemuan Jullian dan Stefan membuat semua firasat buruknya terkuak.

Memang, profesi Stefan tidak lebih jauh beresiko  dari pada profesi tunangannya —tetapi sebagai seorang sahabat yang begitu menyayangi Yuki layaknya kasih sayang ibu kepada putrinya— Hannah tidak ingin, Yuki masuk ke dalam lingkaran berbahaya. Wanita itu ingin Jullian segera mengirimkan William atau Stefan pulang kepada keluarga pemuda itu, namun Jullian tidak menyetujuinya. Jullian berkata nyawa Stefan sedang berada di dalam bahaya. Jika mereka mengirimkan Stefan pulang, maka nyawa keluarga Stefan pun akan terancam. Jullian telah menyuruh beberapa orang terpercaya untuk melindungi keluarga Stefan dan mencari tahu asal mula penyebab pemuda itu lupa ingatan. Mereka membutuhkan waktu yang tepat —tiga bulan— dan tiga bulan itu akhirnya jatuh di hari ini. Hannah kira, semuanya akan berjalan lancar, tapi siapa yang menyangka, musibah menimpa mereka. Sebagai seorang tunangan dari pembunuh bayaran, Hannah sudah terbiasa bertahan hidup di tengah kejamnya dunia.

Lalu, bagaimana dengan Yuki? Gadis itu berurusan dengan Stefan —dengan seorang kapten yang mengemban tugas penting dari negara dan tugas rahasia tersembunyi.

Gadis malang ini, seharusnya bisa hidup dengan damai.

"Hannah!"

Hannah tersentak begitu mendengar namanya di panggil. Wanita itu menoleh mendapati si gadis tengah mengerutkan dahi —seolah sedang berpikir.

"Ini belum begitu larut, mengapa harus mengunci pintu dan jendela secepat ini?" Yuki bertanya sembari mengambil botol air minum dari dalam kulkas —menegaknya sebagian.

Hannah berdehem menghilangkan rasa kalutnya kemudian menjawab pertanyaan Yuki. "Aku sedikit lelah. Klinik tutup lebih awal." Ucapnya beralasan. "Oh iya, Jullian bilang Ste—ah maksud ku dia dan William akan pulang sedikit lebih terlambat."

Yuki terbatuk begitu mendengar ucapan Hannah, minuman dari mulutnya sedikit menyembur keluar. "Jadi, William belum pulang dan dia sedang bersama Jullian?" Tanya Yuki tak percaya. "Ah, apa mereka bertemu saat pergi berbelanja tadi?"

Hannah mengangguk mengiyakan. "Malam ini kalian menginap saja di tempat ku."

"Apa? Menginap?"

.
.
.

Atensi pemuda itu sejak beberapa jam yang lalu terfokus pada beberapa rekaman video yang di berikan oleh Jullian. Stefan tidak pernah mengira bahwa ia dan Jullian adalah orang yang sama —sama-sama memiliki tugas berbahaya namun berbeda profesi. Pemuda itu yang awalnya meragukan Jullian, kini bisa sedikit percaya berkat beberapa bukti kuat yang di berikan oleh Jullian dan juga penjelasan Jullian yang berpura-pura tak mengenalnya selama tiga bulan ini.

"Bagaimana bisa aku tidak mengingatnya?" Gumam pemuda itu."

"Kami tidak menyalahkan mu. Mereka telah dengan sengaja berencana memberi mu obat khusus hingga membuat mu kehilangan ingatan."

Stefan menoleh mendapati Bryan —pria yang membantunya dan Jullian—sedang berjalan dan mengambil posisi duduk di hadapannya.

Tak berapa lama kemudian, Jullian datang membawa tiga cangkir kopi. "Namun, kami mencurigai sesuatu. Jika mereka menginginkan mu meregang nyawa, mengapa mereka masih berpikir untuk merusak ingatan mu?"

Stefan tampak memikirkan ucapan Jullian —ucapan itu masuk akal. "Apa kau berpikir ada seseorang yang mencoba memalsukan kematian ku?"

"Mungkin." Balas Jullian sembari menyeruput kopinya.

Bryan kembali bersuara. "Aku tidak yakin akan hal ini karena bukti yang ku kumpulkan selama tiga bulan ini belumlah cukup. Tapi, aku mencurigai dua orang yang dekat dengan mu, kap."

"Siapa?"

"Sean dan Alley James —tunangan mu."

Dahi Stefan tampak mengernyit, dadanya terasa nyeri setelah mendengar kedua nama itu, lebih tepatnya alasan dadanya terasa amat nyeri karena nama seorang wanita yang di katakan adalah tunangannya. Lalu, sekelebat mimpi buruk yang biasa di alaminya —mulai bermunculan di dalam kepalanya — pikirannya mendadak menjadi rancu. "Kalau benar wanita itu tunangan ku, mengapa kalian mencurigainya?"

"Karena saat aku menyelinap untuk mencari bukti di kediaman tuan Foster, aku melihatnya bersama Sean—sahabat anda."

Apa sahabat dan tunanganku —mereka mengkhianati ku?

.
.
.

Yuki terbangun begitu merasakan perutnya tertimpa sesuatu yang berat. Kakinya terasa sedikit kaku —sepertinya bukan hanya perutnya saja yang tertimpa benda berat itu. Namun kakinya juga sama. Gadis itu menyibakan selimutnya secara perlahan. Menyalakan lampu tidur di atas nakas dan melihat jam weker. Waktu menunjukan pukul setengah dua dinihari, tidak biasanya gadis itu terbangun di jam-jam seperti ini.

Netra hazel gadis itu kini melirik ke arah perutnya. Dan betapa terkejutnya Yuki mendapati seseorang tengah memeluknya. "William!" Yuki berseru keras hingga membuat pemuda itu terbangun. "Mengapa kau berada di atas tempat tidur yang sama dengan ku?"

William tersenyum dengan raut wajah sendu, ia tak menjawab perkataan Yuki, jemarinya terangkat menggenggam lengan Yuki —menarik gadis itu untuk kembali tidur di dalam
Pelukannya.

Yuki hendak memberontak agar terlepas dari pelukan William —ini salah, tak seharusnya mereka berada di posisi seperti ini— namun pelukan William terlalu erat, ia tak bisa bergerak.

"Ku mohon, hanya hari ini saja biarkan aku tidur memeluk mu."

Suara William terdengar begitu lirih di pendengarannya hingga membuat Yuki bertanya-tanya. Ada apa dengan pemuda itu?

Perlahan Yuki mengangkat wajahnya, menatap wajah William dari dekat. Dahi gadis itu mengernyit begitu melihat ada luka memar di pangkal hidung dan sudut bibir si pemuda. "Ini kenapa? Bagaimana bisa kau mendapatkannya? Apa ada seseorang yang memukul mu?" Yuki panik.

Pemuda itu enggan menjawab, ia menumpukan dagunya di atas kepala Yuki. "Maafkan aku..."

"Maaf, untuk apa?" Tiba-tiba Yuki merasa aneh dengan perubahan Stefan. Rambutnya terasa basah. "Kau menangis?"

Hening... tidak ada jawaban karena selanjutnya yang di lakukan pemuda itu adalah menangkup pipi sang gadis, mempertemukan bibir mereka. Dan ia tahu gadis itu sedang terkejut dengan netra hazel membulat sempurna.

STEFAN & YUKITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang