Solll... Sepatu!

28 5 2
                                    

"Hai...".

Melihat lelaki bersuara emas itu, Erina bangun dan berbalik menyapa.

"Ng... cari Jeena?"

"Ehe... iya."

Mulut Erina sudah terbuka hendak membalas, "Jeena lagi berburu makanan." Tetapi, yang bersangkutan sudah lebih dulu menyapa cowok itu.

"Kok tahu gue di sini?"

'Gue'. Meskipun mereka sudah resmi menjalin koneksi khusus, tetapi adat panggilan 'gue' dan 'lo' tidak pernah ditinggalkan. Secara naluri, adat itu sudah mendarah daging dalam jiwa sejoli itu. Sebab, Jeeena dan Yudistira mengalami friendzone sebelum akhirnya saling baper.

Alih-alih menjawab pertanyaan Jeena, Yudistira menunjukkan layar ponselnya yang sedang menayangkan instastory milik Jeena.

"Y-ya... kan..." ucap Jeena bingung hendak berkata apa. Namun, Yudis cepat-cepat mengembalikan mood gadis tersebut dengan menampilkan seulas senyum di wajahnya.

"Iya... nggak papa."

Mereka kemudian saling berpandangan. Sedangkan, Erina mulai kesal melihat mereka berdua yang tidak menggubrisnya.

"Jeen!" panggil Erina sedikit menggertak.

Panggilannya yang semula hanya ditujukan kepada sahabatnya, justru menyebabkan keduanya menengok ke arahnya. Yudis seolah-olah kembali bernafas setelah menahan udara di tenggorokannya selama melihat sosok dewi di hadapannya.

"Jadi dimakan nggak tuh? Sampe lalat nyerbu duluan ntar."

"Gampanglah soal makanan."

Katanya tadi lapar? Sekarang jadi kenyang abis liat pacarnya gitu? batin Erina.

"Eh iya, dimakan dulu aja," timpal Yudis.

"Nggaklah. Masa iya gue makan sendirian."

"Ya terus?" Erina mencondongkan badannya ke arah Jeena sambil menaikkan satu alisnya. "Biasanya juga lo makan sendirian di depan gue tanpa bagi-bagi."

"Aelaah... itu kan dulu," ujar gadis pramuka tersebut terkekeh.

Mereka bertiga lantas diam membiarkan riuh rendah membanjiri parkiran GBK. Karena Erina tidak nyaman terus-menerus berada di antara Yudis dan Jeena, ia kemudian memecah keheningan dalam kelompok kecil itu.

"Eh, g-gue muter dulu, ya?"

"Tumben. Biasanya kan lo males jalan-jalan kalo nggak ada temennya."

"Aelaah... itu kan dulu," jawab Erina meniru gaya Jeena saat membalas perkataannya. "Emang lo mau nemenin gue?"

"Nggak deh. Capek."

Erina menarik satu sudut bibirnya, lantas berlalu meninggalkan Jeena bersama Yudis.

Kakinya berayun perlahan. Kedua tangannya mengikuti gerakan kaki. Ke depan, lalu ke belakang secara bergantian.

Kucir ekor kudanya membulat menyesuaikan rambutnya yang ikal. Cahaya matahari pagi yang hangat terpantul di wajah Erina.

Saat ia hendak memasuki putaran kedua, matanya tertarik pada satu objek berwujud lelaki jangkung yang mengenakan kaus lengan pendek berwarna putih dan celana pendek hitam. Ia menyalip Erina begitu saja dengan langkah lebarnya.

Gadis itu bersikeras untuk berkedip dan menelan salivanya. Tetapi, berat. Dia terus tertinggal di belakang Evans yang kecepatannya jelas lebih cepat dibanding dirinya.

EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang