Waktu tidak berhenti ketika pria itu menyampaikan sebagian besar kegundahan dalam jiwanya. Jam dinding berdentang tujuh kali mengiringi kegaduhan di kediaman Tuan Graha yang sedang mengadakan pesta pertunangan putri sulungnya, Naura. Gadis itu mengenakan gaun berwarna emeraldin. Kulit mukanya yang putih beranjak menjadi kemerahan karena amarah yang menggelora setelah mendengar peryataan calon tunangannya.
"Saya bukan putra kandung Tuan Frans. Saya hanya anak angkat. Saya hanya rakyat jelata yang beliau besarkan seperti anaknya sendiri." Meletakkan kembali cincin yang sudah hampir melingkar di jari manis Naura ke wadahnya. Semua yang bernyawa di sana tergelak, terutama karena menekan kata 'rakyat jelata' di depan seluruh kolega konglomerat kedua keluarga.
Tuan rumah masih mencoba menenangkan tamu-tamu yang berbisik tentang rumor buruk keluarganya. Sementara itu Arga membungkukkan tubuhnya dengan hormat lalu keluar, ayah dan ibunya mengekori. Naura frustasi segera berlari ke kamarnya di lantai dua diikuti adik perempuannya, Naira.
Tiba di kediaman Tuan Frans, Arga berlutut di depan orang tuanya. Ia merasa bersalah tetapi tidak menyesali perbuatannya. Hidup menjadi Arga Fransisko selama dua puluh lima tahun adalah berkah sekaligus siksaan baginya. Ia bertahan hanya demi kakak laki-lakinya, Irgi. Melindungi Irgi agar tidak terus dilimpahi kesalahan oleh keluarga Frans karena terlahir cacat fisik dan mental.
"Maafkan saya Ayah, Ibu, saya tidak bisa lagi meneruskan kebohongan terhadap semua orang. Saya akan bertanggung jawab atas kekacauan ini." Mendengar pengakuan kesalahan Arga, Nyonya Frans tidak henti menangis sekaligus menyesali kebodohan putra yang bukan darah dagingnya. Kekecewaan ini semakin besar karena Keluarga Frans sangat mengasihinya seperti putra kandung mereka sendiri
"Kami membesarkanmu dengan tulus, memberikan segalanya yang terbaik, tapi ini balasanmu? Mempermalukan nama baik keluarga, tidak termaafkan! Kemasi barangmu dan pergi malam ini juga!" Tuan Frans beranjak dengan kemarahan tak terbendung sementara istrinya masih tersedu-sedu. Arga hanya menunduk, dia tidak berhak menuntut apa-apa lagi dari keluarga ini.
Irgi memutar kedua roda di sisi kanan dan kirinya, menghampiri adik angkatnya yang masih menekuk kedua lutut sambil meneteskan air mata. Jarang melihat Arga menunjukkan kesedihan bahkan di depan ayah dan ibunya. Arga merasa walaupun berlagak menjadi keturunan keluarga Frans, kehidupannya tidak pernah tenang. Bayang-bayang masa kecilnya yang kelam tidak akan pernah bisa terkubur.
Arga segera menghapus air dari pelupuk matanya dan bangkit memeluk Irgi. "Maaf Kak, aku menghancurkan semuanya. Aku gagal melindungimu, gagal melindungi keluarga ini, dan gagal melindungi gadis yang kucintai." Ia melepas dekapannya lalu meninggalkan Irgi. "Aku harus pergi." Sontak air mata membanjiri pipi Irgi. Meskipun tidak mengatakan sepatah kata pun tapi hatinya tidak mati. Ia bisa merasakan kepedihan dalam hati adik yang selalu menemani dan merawatnya sedari kecil.
***
Naura membanting pintu kamarnya, melepas kasar ornamen di rambut dan gaunnya. Ia menghabiskan tiga jam untuk bersolek tapi menjadi sia-sia. Menjadi putri tertua Keluarga Graha yang disegani, lulusan universitas elite di luar negeri, dan terkenal sangat bijaksana. Ia tidak bisa menerima penghinaan dari Keluarga Frans terutama Arga. Ia menganggap mereka telah lancang karena berani menjodohkan putri dari keluarga Graha yang tersohor dengan seorang pria kasta rendahan.
"Sudah tenang? Ayah dan Ibu ingin bicara dengan Kakak." Naira perlu menunggu beberapa saat hingga amarah di hati kakak perempuannya mereda untuk bisa berbicara. Ia tidak terlalu populer walaupun menjadi putri bungsu Keluarga Graha. Ia menyerahkan semua masalah eksternal kepada kakaknya. Ia mendambakan kehidupan yang damai tanpa embel-embel keluarga kelas atas.
"Kamu sudah tahu?" Naira membeku di tempatnya. Mereka berhadapan dengan aura pertentangan. "Hanya diam saja. Jadi memang sudah tahu." Naira masih tidak ingin berkata-kata. Apapun penjelasannya hanya akan menciptakan kegemuruhan. "Melindungi seorang penipu dan mempermalukan Keluarga Graha. Alasan itu cukup untuk membuatmu diasingkan oleh Ayah dan Ibu." Ancam Naura dengan mata tajamnya. Harga dirinya tergores dan belas kasihnya terbakar hilang.
"Memangnya kenapa kalau bukan putra kandung Tuan Frans?" Naira tidak tahan lagi, ia bersuara. "Bukankah Kakak yang bilang mencintainya? Itu alasan aku melepaskan Arga dulu, karena saudariku lebih berharga dari apapun." Mata Naira berkaca-kaca. Sejak Arga mengucapkan pengakuannya hingga semua tamu pulang ke rumah masing-masing, ia tetap tidak bisa menuntaskan kepedihannya. Berbeda dengan Naura yang sama sekali tidak tertarik dengan perihal melankolis.
"Cinta?" Naura menyeringai, "Cinta hanya untuk orang-orang yang sepadan, jika tidak, maka cinta itu tidak pernah ada." Ia mendekat kepada adiknya, "Jangan pernah menjadikanku alasan atas perbuatan licikmu. Lagipula aku tidak ingin keturunanku dialiri darah kasta rendahan." Naira terduduk di lantai setelah kakaknya pergi. Pertahanannya runtuh dan isakan memenuhi ruangan. Kalimat Naura melukai hatinya dan rasa iba terhadap Arga menyeruak. Kalimat kasar itu dengan mudah keluar dari mulut perempuan berkelas seperti Naura, sangat mengejutkan.
***
Ada sebuah jalan panjang yang sejuk ketika siang hari karena ditanami pohon angsana di setiap tepinya. Pohon itu berbunga dengan kelopak kuning secerah sinar matahari jam delapan pagi. Jalan yang hanya dilalui oleh segelintir orang, kebanyakan penghuni di kawasan kediaman Tuan Graha. Jalan yang ternyata juga dibuat Tuhan untuk mempertemukan dua insan yang sekali lagi sedang berjalan ke arah berlawanan. Mereka pernah berpapasan sekali lalu menyemai perasaan terlarang yang akhirnya menghukum mereka. Waktu mereka tidak pernah tepat.
"Sekarang apa rencanamu?" Naira berhenti lebih dulu diikuti Arga yang berdiri di depannya. Bersandiwara seakan-akan pertemuan ini sebuah kebetulan setidaknya hingga situasi kembali tenang atau mungkin ini saatnya menyampaikan salam perpisahan.
Arga tidak bisa mengatakan, selalu berjalan mendampingi, melindungi, melihat daun angsana gugur setiap hari bersama, adalah rencananya. Ia telah menghancurkan segalanya apapun langkah yang ia pilih kini. Ia tidak bisa menerima perjodohannya dengan Naura karena akan menyakiti perempuan di hadapannya dan tidak bisa memilih Naira karena semesta tidak mendukung mereka. Alhasil, hanya kepedihan yang harus ia terima.
"Aku hanya akan melanjutkan hidup seperti biasanya." Ia memberanikan dirinya menatap mata penuh kesedihan milik Naira. "Bedanya, aku tidak akan bisa melihatmu lagi. Aku telah merusak hidupku dan hidup keluargamu. Maafkan aku."
Naira meneteskan air matanya. Menangis menjadi kebiasaannya semenjak Tuan Graha mengadakan makan malam keluarga dan menyatakan bahwa Naura akan dipersunting putra Keluarga Frans. Kala itu Naira hanya tersenyum dan tidak memrotes apapun. Arga adalah teman pertamanya di sekolah dasar dan ia nobatkan menjadi pangeran yang akan ia dampingi saat ia dewasa. Namun takdir menuliskan jalan lain bagi mereka. Mereka tidak bisa menentukan takdir yang diinginkan.
"Lalu aku? Aku harus bagaimana?" Racau Naira di tengah isakannya.
Sejak awal Naura telah menyadari hubungan Arga dan Naira yang tidak biasa. Namun ia tetap melanjutkan perjodohan karena tidak penting baginya harus menyingkirkan siapa demi menggapai ambisinya. Kemungkinan ayah mereka sudah mengetahui hal ini dan Naira takut tidak punya lagi tempat untuk kembali.
"Hiduplah seperti pohon ini, dia selalu melindungi kita dari sengatan cahaya matahari dan memberikan penghasilan bagi tukang sapu jalanan yang membersihkan rontokkan daunnya." Arga melihat tukang sapu berada tidak jauh dari mereka. Ia teringat banyak pekerjaan rendahan yang harus ia lakukan di masa lalu demi bisa bertahan hidup. "Kamu memiliki segalanya, ayah yang hebat, ibu yang bijaksana, kakak perempuan yang manis, dan teman-teman yang setia. Mereka tidak akan membiarkanmu sendirian di dunia ini." Arga menepuk kedua bahu Naira dan berlalu seperti tiupan angin di musim gugur. Naira masih berdiri sambil terisak sendirian, sesekali mengusap basah di pipinya.
"Benar aku tidak sendirian, tapi aku tetap kesepian." Naira mendongakkan kepalanya. Warna kuning mendominasi penglihatannya. "Ayah, ibu, kakak, teman, bolehkah aku menukar mereka dengan Arga? Aku tidak butuh apapun tapi izinkan aku bersama Arga." Ia mulai memejamkan matanya sampai sebuah kelopak angsana mendarat di pipinya.
TAMAT

YOU ARE READING
Angsana
Short StoryPohon Angsana selalu melindungi dari sengatan cahaya matahari seperti Arga yang selalu menjaga orang-orang yang ia kasihi.