Mungkin takdir, mungkin bukan. Entahlah aku tidak pernah mengerti bagaimana jalannya takdir dan perasaan, juga bagaimana roda kehidupan berputar.Kita pernah bertemu sepuluh tahun yg lalu, Di masa yang paling bahagia. Masa remaja.
Di masa kita menikmati kehidupan tanpa pernah takut akan menantang dunia. Jujur saja, di masa itu hidupku paling bahagia seakan mataku tertutup untuk melihat beban dunia. Tanpa tahu betapa dunia kita bertolak belakang.
Wangi espresso milik ayah, kicauan burung di depan jendela kamarku, satu piring nasi goreng -dengan telur setengah matang yang cair- mengawali hariku seperti hari hari sebelumnya.
Dan seperti hari hari sebelumnya, aku si paling berantakan ini tergesa gesa memakan sarapan yang sudah di sajikan oleh bundaku tercinta. "Kak, jangan buru buru makannya. Nanti kotor semua!" Teriak bunda sambil melanjutkan acara cuci piringnya. Walaupun teriakan bunda sepertinya tidak berhasil dan menjadi angin lalu, dan kemudian akupun berlari menuju halte bis.
Disitulah aku bertemu denganmu. Di dalam sempitnya halte bis yang kaya akan manusia dan antrian yg sangat panjang. Kamu berlari kesetanan tanpa melihat adanya diriku di jalur antrian. "Maaf" katamu yang tanpa sadar menjatuhkan nametag namamu lalu pergi menaiki busway tujuanmu.
Namamu yang tertara dalam nametag tak akan pernah aku lupakan.
YOU ARE READING
cinta sedalam kopi
Randommencintaimu rasanya seperti meminum segelas latte. rasanya manis, asam, dan pahit. tidak lebih tidak kurang.