Samar-samar aku mendengar getukan pintu yang membabi buta dari luar kamarku. "Aura buka! Lu tidur atau mati!" teriak seseorang dibalik pintu yang kukunci semalam. Dengan langkah yang kedebak kedebuk aku berjalan ke arah pintu. Siapa si. Aku baru saja tertidur. Dan dia seenak hati mengganggu waktu tidurku.
"Ini masih malam. Kenapa?" ucapku setengah sadar menyender pada daun pintu dengan memejamkan mata dan sesekali menguceknya. Berharap terbuka lebar.
"Malam?" ujar Stiz.
"Iya malam. Lu buta apa? atau masih merem." jawabku kini telah melihat Stiz dengan stelannya.
"Kok lu udah rapih? Mau pergi jam segini? Lu mau ngapain emang?" tanyaku pada Stiz yang sudah rapih. Apa ada rapat di tengah malam?
"Mabok Genjer ya lu. Ini udah siang." Stiz langsung menyentil keningku cukup keras. Bunyinya pun terdengar di telinga. "Sakit."
Aku mengusap-ngusap bagian yang baru saja Stiz sentil. Aku bisa menebak, pasti ada tanda merah disana. "Jam berapa emang sekarang?"
"Jam setengah dua belas." tuturnya. Setengah dua belas? Ya itu cukup siang sekarang, tapi Sang Surya belum berada di atas kepala bukan dan hari ini juga Zarbika ujian. Hari pertamanya ujian.
Tunggu sebentar. Zarbika. Ujian. Hari pertama? What! Aku melupakannya. Aku langsung berlari mencari ponsel di kamar.
Notifikasi
Hukum Netton
"Gua ujian hari pertama ni, rasanya deg degan haha." 06:25
"Gua baru sarapan bubur ayam di kantin ni, lu udah sarapan belum?" 06:45
"Hmm.. Kayaknya lu masih tidur, yaudah gua ujian dulu. Selesai palingan jam sepuluhan." 07:20Aku benar-benar melupakannya, bagaimana ini. Dengan setengah gemetar aku menekan kontaknya. Lalu mulai mengetik.
"Gimana ujiannya? Sorry gua kesiangan :("
Aku melirik Stiz yang masih setia diambang pintu. Ia hanya menatap datar kearahku.
"Mau makan siang bareng ga? Kalau engga gua mau ke kantor." tutur Stiz yang masih memesang muka temboknya.
"Mau," ucapku lesuh. Pikiranku kini tertuju pada Zarbika yang ujian tanpa ku beri semangat pagi.
"Cepatan mandi, kalau lama gua tinggal."
"Iya," aku mengambil handuk di dalam lemari dengan langkah seperti zombie. Lemah. Aku merasa bersalah sebagai kekasih yang tidak sanggup hanya memberi semangat via chat. Apa gunanya memiliki kekasih jika tidak dapat memberi dukungan disaat seperti ini.
"Niat makan ga si lu." Stiz mengomel di tengah makan siang kami. Aku tau dia memarahiku karna aku hanya mengaduk-aduk soup buntut sedari tadi. Aku tidak berselera makan saat ini, walaupun aku merasa lapar tapi tidak ada niat memasukan makanan kedalam mulut.
"Rani," panggilnya. Aku mengangkat kepala kearahnya.
"Makan," tuturnya lembut. Dengan usaha yang ada aku mulai memakan makananku kembali. Aku lihat Stiz tersenyum melihat satu suapan mendarat di mulutku.
"Jangan ada sisa," pintanya lembut.
Ping Ping Ping
Ponselku yang ada di atas meja berbunyi. Aku meraihnya dan melihat siapa yang mengirimiku pesan.
Notifikasi
Hukum Netton
"It's oke, ujian gua lancar. Masih ada beberapa hari lagi ujian."
"Doain gua hingga akhir ujian nanti. Don't forget amour."
"Udah makan siang lu?"Senyum mengembang saatku melihat pesan yang sedari tadi kunanti.
"Thank you, gua selalu doain yang terbaik buat lu, gua ga akan lupa akan hal itu."
"Ini gua lagi makan soup buntut."
"Lu udah makan?"Sekarang perasaan yang gundah telah sirna. Dan sekarang aku makan dengan lahap, tanpa ada beban pikiran yang menggantung. Aku senang dia membalas. Ini lebih menyenangkan daripada mengerjai Stiz.
"Kenapa lu senyam senyum? Ada yang lucu?" Stiz terlihat heran melihat diriku.
"Nothing." ucapku yang masih setia tersenyum.
"Dasar aneh," Stiz mulai memakan Steak Medium 'nya lagi.
"Stiz gua penasaran deh."
"Apa?"
"Lu punya pacar?"
Stiz langsung tersedak. Dia mulai meminum orange juice. Menetraliskan rasa tersedaknya.
"Ngapain lu tanya hal konyol kayak gitu."
"Ya, gua penasaran. Lu itu kan cogan, berpendidikan, umur lu juga udah ga muda." aku sejenak mengerutuki perkataan terakhir yang menyinggung umurnya. Mulut ini tidak dapat berhenti sejenak rasanya saat mengucapkan. Dan sekarang aku merasakan tatapan Stiz yang tidak menyukai perkataanku. Tatapannya membuatku mengalihkan pandangan ke arah lain. Sangat menusuk.
"Eh sorry sorry maksud gua ga kayak gitu," aku masih bisa merasakan tatapannya yang begitu tajam. "Maksud gua, lu ga ada niatan berkeluarga? Gua kan mau main sama keponakan yang lucu dan gembul gitu." lanjutku. Aku mencoba menarik senyum dengan cengengesan. Sepertinya aku terlihat bodoh saat ini dihadapannya.
Stiz menarik nafas panjang, kemudian berarlih mengusap wajahnya. "Belum saatnya." jawabnya singkat.
"Kenapa?" aku langsung menutup mulut dengan kedua tangan. Ini kedua kalinya aku melakukan kesalahan.
"Jodoh gua masih di hati yang lain. Dia masih nyasar." Stiz tertawa hambar.
Aku hanya mengangguk-angguk mengerti. Walaupun aku tidak tahu menahu siapa pujaan hatinga saat ini. Ia tidak pernah bercerita apapun tentang kisah cintanya. Menyebalkan memang, Stiz tau tentang kisahku tapi aku tidak tahu dengan kisahnya.
Drttt... Drttt...
Ponselku bergetar diatas meja.
Aku meraihnya lalu melihat siapa yang memanggil. Tertera nama Hukum Netton. My moodboster. Kulirik Stiz sebentar yang sedang memakan kentang gorengnya. Dan beralih mengangkat panggilan Zarbika.
"Hallo." ucapku setelah menerima panggilannya.
"Lu dimana?" tanya Zarbika dari sebrang telfon.
"Gua di resto Green."
"Sendirian?"
"Engga, sama Stiz."
"Apa!" aku langsung menjauhkan ponsel dari daun telinga Zarbika berteriak setelah aku menyebut nama Stiz. Apa nama Stiz sekramat itu hingga Zarbika berteriak mendengar namamya.
"Jangan teriak. Gua budeg nanti." gerutuku.
"Kenapa makan sama dia?"
"Diajak dia tadi, kenapa emang?"
"Gapapa,"
Tut...
Zarbika mematikan sambungan sepihak. Aku tercengang dengan apa yang ia lakukan. Apa! Zarbika menutupnya begitu saja? Dia kenapa? Apa salah ku?
"Kenapa?" tanya Stiz yang menyadariku sedang menahan kekesalan.
"Orang salah sambung." jawabku ketus. Aku masih tidak terima Zarbika menutup sambungan seperti itu. Itu sangat menyebalkan. Aku tidak akan menghubunginya sebelum ia memulainya terlebih dahulu. Kita lihat seberapa jauh Zarbika mendimkanku. Dia diam. Aku bisa lebih diam. Bahkan menghilang.
.
.
.
Love Hikari
KAMU SEDANG MEMBACA
Avontur Rasa
Teen FictionMengerahkan seluruh usaha guna dipandang takdir. Bukan hal pasti nan mudah dalam melakukannya. Aku kerap ragu akan perasaanku. Gelisah terus membebani pikiranku. Haruskah bertindak atau diam. Zarbika Ibra, bagaimana aku bisa menghadapinya.