Sepanjang Jalan

7 0 0
                                    

Di ufuk barat terlihat matahari perlahan mulai sirna, sembari tertutupi embun-embun kendaraan yang meluap-luap. Kabut asap menghiasi setiap pandanganku. Aku merasa seperti di kebun raya bogor, berjalan sembari menghirup udara segar. Realitanya aku berjalan menelusuri jalan Cikini Raya. Secara tangkapan visual ia menjelma seperti pagi hari yang sejuk, dan kulit ini ternodai oleh embun pagi yang segar. Tetapi sayang, itu hanya tipuan visual semata, yang aku rasa bukan sejuk nan tenang, tetapi panas berasap seperti pabrik yang hendak kebakar. Aku mulai mempercepat langkahku sembari melihat para pekerja yang sedang merekonstruksi jalan. 

Coba lihat trotoar itu! Diperluas! Pertanda pejalan kaki mulai berjaya, sisanya pengemudi yang mulai frustasi karena hampir seperempat haknya dilahap trotoar itu. Beberapa pengemudi menerobos masuk ke trotoar, para pejalan kaki ikut terampas haknya. Ada yang saling senggol kanan-kiri sembari klakson sesuka hati, sepertinya mereka saling berinteraksi atau malah saling sindir satu sama lain. 

Ditambah lagi pengemudi yang melawan arus lalu lintas, mungkin mereka terlalu banyak dicekoki motivasi ''hiduplah seperti ikan yang melawan arus air, karena air selalu mengalir dari hulu ke hilir'' Sehingga ego mereka lebih mendominasi dibandingkan rasa berkolektif untuk menikmati kemacetan bersama. 

Tiba-tiba langkahku terhenti, tubuhku diam bisu. Bukan diam karena takut untuk melangkah maju, tetapi aku terkesima dengan fenomena yang tepat berada di depan mataku. Lihatlah trotoar sangat bijak, dia tidak berpihak kepada siapapun. Lihat saja pedagang kaki lima, pejalan kaki dua, gerobak sorong sampai motor ikut menindasnya. Hanya disini trotoar menjadi jalan alternatif bagi pengendara roda dua. 

Aku frustasi menghadapi situasi seperti ini, sedangkan penulis cerpen ini leha-leha dikamar kosnya, kulitnya terpapar hembusan AC, disampingnya ada sebatang rokok yang menemaninya menulis. Sedangkan aku hanya menjadi medium untuk menghantarkan ocehannya ini ke publik. Mungkin ini alasannya dia menulis cerpen ini, karena jalan ini adalah jalan yang sering dia lalui. Betapa dramatisnya jalan ini, motor saling senggol, suara klakson berbunyi setiap detikan jarum jam. Aku melihatnya seperti pertunjukan teater yang sedang berlangsung. Jika kamu tak percaya silahkan datang setiap pukul 17:00 – 20:00 di jalan Cikini Raya tepat di depan Menteng Huis.       

Sepanjang Jalan Cikini RayaWhere stories live. Discover now