19. Rindu & Ragu

444 51 0
                                    

Bagi Dara, sepi adalah hal biasa yang setiap hari menjadi temannya. Meski tidak setiap waktu, setidaknya ia masih bisa merasakan bahwa dunia sesungguhnya masih sama, hening dan lengang.

Terkadang, Dara hanya ingin berteman dengan sepi. Agar hatinya bersuara, agar jiwanya berbicara. Dan yang mampu mendengar hanyalah, sepi.

Sesaat setelah melihat kondisi bunda yang sangat berbeda dari biasanya, Dara tidak berkata apa-apa, lebih memilih berlari menuju salah satu sudut yang masih mempersilahkan kesedihannya tumpah dengan leluasa. Hatinya menjerit hampa bersama tangis tanpa suara.

Mbak Puput bilang, bunda menderita gagal ginjal yang di sebabkan oleh dehidrasi parah. Dan untuk pertama kalinya, Dara menyesal karena berpikir dan yakin bahwa bunda sehat dan baik-baik saja. Tapi, kenyataannya berbeda. Semua terjadi begitu cepat, seolah bumi lebih senang melihat pipinya berhias air mata daripada sebuah tawa.

"Ra?"

Gadis itu terkesiap, lalu menyeka air matanya.

"Aku cari kemana-mana, ternyata kamu di sini," tegur Rama. "Hari hampir malam, kita masuk ke dalam ya?"

Dara menggeleng.

Rama duduk di samping Dara, lalu seperti biasa menggenggam tangannya dengan lembut. "Aku khawatir sama kamu."

"Aku khawatir sama bunda," balas Dara.

"Semua pasti baik-baik saja."

"Aku juga selalu berpikir seperti itu. Aku selalu yakin dan menganggap kalau bunda sehat dan baik-baik saja. Tapi sekarang..."

Rama merangkul Dara perlahan, "jangan menangis. Kalau kamu harus bersedih akan suatu kenyataan, itu berarti Tuhan sedang menyiapkan sebuah kebahagiaan."

"Aku harap itu benar adanya." Dara menyeka air matanya.

Mendengar itu, Rama tersenyum. "Pasti," katanya sembari mengeratkan pelukannya.

Dara tertunduk, menikmati pelukan Rama yang selalu menenangkan. "Di sini dingin, kita masuk ya, Ra?"

"Di sini hangat, selama kamu tetap peluk aku."

***

"Hey hey, pagi-pagi kenapa sudah melamun?"

Dara segera tersenyum menyambut kedatangan Aya, "akhirnya kamu datang juga."

"Memang sedari tadi kamu nungguin aku? Bukannya melamun, ya? Mikirin siapa, sih?"

"Harus ya aku jawab semua?"

Yang Dara lihat, Aya menghentakkan kaki dengan pelan. "Cerita dong, Ra. Kamu kan tau aku ini orangnya suka penasaran."

"Bunda sakit, tapi sudah sembuh, mungkin."

Aya terdiam sekejap, lalu melihat perubahan raut yang sangat kentara saat Dara menyebut satu nama yang paling berarti dalam hidupnya. Ditepuknya pundak Dara dengan pelan. "Aku juga pernah ngerasain khawatir ke orang yang paling aku sayang. Aku turut sedih, Ra, dan semoga bunda kamu baik-baik saja."

"Bunda pasti baik-baik aja," Dara tersenyum kecil. "Pasti," lanjutnya.

"Kalau boleh tau, bundamu sakit apa?"

"Bunda pernah beberapa kali kena dehidrasi, dan puncaknya kemarin. Dokter bilang ginjalnya rusak karena dehidrasi kronis."

"Kamu tau nggak, Ra? kalau cobaan itu bentuk lain dari kasih sayang Tuhan."

"Aku tau, Ay," jawab Dara, "aku juga percaya," lanjutnya lagi.

"Maka dari itu, Ra, kamu enggak boleh terus putus asa dan tenggelam dalam kesedihan."

Dari Semesta untuk Dara [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang