11. Yang Sedang Patah Hati

1.1K 253 177
                                    

Lagi sakit, nggak bisa ngetik. Jadi aku update cerita yang ada tabungan draftnya~

Before we start, pengen nanya.
Apa alasan kalian lebih cenderung ke SakaDara atau EdselDara?
Aku pengen tahu sekaligus jadi bahan pertimbangan ;)

-

Adara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Adara

Here is how I define men sexyness: when they read book. Serius deh. Buatku seksi itu bukan hanya soal bentuk tubuh, maskulinitas, atau senyum dan kedipan mata, tapi juga dari hobi dan kebiasaan mereka. And, yes, I should admit that Mas Edsel looks so sexy when he is busy with his book.

Kayak sekarang, Mas Edsel dengan kaus putih dan celana training hitam, membaca buku tebal yang tengah dia pegang, dengan santai duduk di karpet, punggung bersandar pada pinggiran sofa. Kalau diingat-ingat, aku dan Mas Edsel awalnya sering mengobrol karena sering baca buku, dan dulu kami sama-sama suka bukunya Pramudya Ananta Toer.

Tapi dari tadi Mas Edsel cenderung diam. Mungkin lagi capek juga sih.

Sementara itu, Bang Saka masih duduk di samping Mas Edsel, tatapannya fokus pada layar televisi yang memutar The Exorcism of Emily Rose—heran aku, kayaknya Bang Saka nggak bosan nontonin ini—sambil ngemilin kacang atom. Karena mereka berdua di bawah, kali ini sofa bisa aku kuasai sendirian.

“Jangan makan sendirian dong,” aku menepuk pundak Bang Saka, tangan kanan merebut bungkus kacang atom. “Bagi-bagi napa.”

“Siapa suruh daritadi diam? Keburu habis sama aku,” Bang Saka membela diri, tapi membiarkan bungkus kacang tetap di tanganku.

“Oh, iya, Sak,” Mas Edsel menolehkan kepala, bicara untuk pertama kali setelah sekian menitnya, “masih ingat Sam, nggak?”

“Sam? Samudra maksud lo?”

Mas Edsel mengangguk menanggapi. “Dua hari lalu gue ketemu dia.”

“Janjian?”

“Nggak. Nggak sengaja ketemu. Dia lagi di cafe, jadi ngobrol deh,” balas Mas Edsel. “Terus dia ngasih gue undangan. Buat minggu depan. Lo disuruh datang.”

Aku hanya bisa menyimak, asik mengunyah kacang atom sambil membongkar sedikit memori dunia perkuliahan untuk mengingat nama yang Mas Edsel maksud. Belum selesai aku menggali, Mas Edsel sudah kembali bersuara, dengan kepalanya yang menoleh ke arahku.

“Kamu juga, Ra.”

“Aku?” Jari telunjuk kuarah pada diri sendiri, yang langsung Mas Edsel jawab dengan anggukkan.

“Nanti kita berangkat bareng,” tambah Mas Edsel.

“Seriusan si Sam mau nikah? Ajigile.” Bang Saka sudah geleng-geleng kepala. “Masih sama anak kedoteran itu dia?”

Manipulasi Rasa & Enigma RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang