"Kenapa, Fi? Muka lo ditekuk gitu? Disetrika gih, makin kusut, makin jelek loh.""Ah, Mbak Jenni. Nggak lucu."
"Dilihatin mulu, samperin dong. Emang nggak kangen?"
Jenni tahu masalah Fio belakangan. Gadis itu selalu memerhatikan jendela kamar Ian. Sejak terakhir kali Ian menatapnya dari sana, lelaki itu jadi jarang menampakkan diri. Tirainya hampir menutup setiap hari.
Dan kalimat yang diucapkan Ian malam itu—saat di acara grand opening—cukup melukai perasaannya. Memperkuat dugaannya, yaitu mana ada cowok yang sudi dekat-dekat dengan Fio alias si itik buruk rupa. Fio menyesap caffe latte yang sudah dipesan. Gadis itu bukan pecinta kopi, namun pelampiasannya saat sedang stres adalah dengan meminun secangkir kopi. Yang lebih menekankan rasa manis tentunya.
Jenni menopang dagu, mengamati Fio yang tengah berfantasi ria. Hari-harinya pastilah melelahkan. Mecca memarahinya karena Fio yang biasa mendapat panggilan telepon paling banyak, saat ini jumlah layanannya menjadi semakin menurun. Laporan keluhan yang dibuatnya pun kacau. Mendadak, banyak pelanggan yang mengeluh tak puas atas pelayanannya. Fio sendiri tertekan dengan segala urusan yang belum terselesaikan. Sulit baginya untuk memperbaiki kinerja, apalagi wajah dan kata-kata Ian yang tiada henti menghantuinya. Gadis itu sangat lelah.
"Satu-satunya cara supaya lo bisa balik lagi kayak dulu adalah menemui Ian. Gue tahu, pikiran lo kacau karena cowok itu, 'kan?"
Fio mengangguk. Lalu meletakkan kepalanya di atas meja. Sungguh, ia ingin tidur dan ketika bangun semua masalahnya jadi hilang. Tapi mana ada kejadian yang semacam itu?
Masalah bukan untuk dihindari. Sekarang ini, bukan emosi yang harus Fio kuasai melainkan kata hatinya sendiri—yang terus berbisik agar ia menemui Ian dan menceritakan tentang dirinya.
"Aw!"
Fio mengaduh kesakitan saat Jenni menampar pipinya dengan sesuatu. Dilihatnya sebuah brosur iklan.
"Apa ini, Mbak?"
"Kalau mau ketemu Ian, gue yakin dia dateng ke sana."
***
Fio berjalan, berdesakan dengan pengunjung pameran lainnya. Bahunya terasa sakit karena terus ditabraki namun fokusnya tertuju pada seorang pria dengan baju lengan panjang berwarna hijau dan celana bahan berwarna cokelat. Itu Ian.
Fio mengikuti langkah lelaki itu ke manapun ia pergi. Ian terlihat menikmati pamerannya. Walaupun tak sepenuhnya yakin sebab Fio mendapati Ian beberapa kali memancarkan tatapan kosong dari kedua bola matanya.
"Aduh!"
Fio menahan perih di lututnya. Keterlaluan! Bentaknya yang hanya tertahan di dada menyaksikan seseorang yang mendadak menubruknya hingga jatuh ke lantai. Menyedihkannya lagi, tak ada yang datang untuk membantu Fio berdiri. Beberapa pengunjung hanya memelototi, sebagian tetap serius meniti jalannya seolah tak mengetahui ada seorang gadis yang jatuh di tengah kerumumunan.
"Ayo, bangun."
Fio melirik ke depan. Seseorang baru saja mengulurkan tangan untuknya, baguslah. Masih terdapat orang baik di dunia yang serba kejam dan individualis ini.
"Ngikutin aku, 'kan? Kamu kira aku nggak tahu?"
Gadis berkacamata itu tersentak mengetahui Ian sudah berdiri di hadapannya. Pantatnya terasa nyeri saat Ian tiba-tiba melepas tangannya dan membuat Fio terjatuh untuk yang kedua kali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Imperfection ✔ #ODOCTheWWG
Любовные романыIan adalah lelaki tampan yang menjalani hobi melukis di tengah ketidakberdayaannya untuk melihat. Tak banyak orang yang menghargai karyanya yang terkesan abstrak. Hingga, seorang gadis muncul dan memotivasi hidupnya, membuat Ian jatuh cinta. Ketika...