"Bilang setuju untuk jadi pacarku, baru aku kembalikan tas bututmu!"
Netra ini membulat sempurna, tak habis pikir ada pria pemaksa seperti ini. Danu Permana --pria berkulit bersih, manager di pabrik tempatku bekerja, sudah lama ia mengejarku. Bukan aku sok jual mahal, tapi sungguh hati ini tak bisa membalas perasaannya.
Aku berjinjit berusaha mengambil tas kecil berisi botol minum dan hape yang di acungkan ke udara oleh tangan panjang si pria jangkung menyebalkan ini.
Meski menjadi tontonan karyawan lain di kantin, Pak Danu enggan menghentikan kejahilannya. "Balikin!" Pukulan di lengan dan injakan di sepatu tak membuatnya merasa kesakitan.
Mendelik para karyawan yang enggan membantu, bahkan Fira teman satu departeman, yang duduk mengisi salah satu meja kantin dia malah ikut tertawa. Ah, ayolah di usiaku yang menginjak dua puluh dua tahun, rasanya tidak pantas untuk bersikap kekanak-kanakan.
Meski bukan kali ini kejahilan pria berseragam biru ini tapi apa tidak pernah di otaknya terlintas untuk bersikap dewasa dan lebih romantis yang mungkin bisa membuatku berpikir untuk menerimanya.
Mendengkus kesal, delik netra ini dibalas kedipan mata oleh si pria yang berdiri tegap ala patung liberty. Membuat bulu kuduk ini berdiri, merinding jijik.
"Mau apa enggak?" Sekali lagi Danu menanyakan yang dia sendiri sudah tau jawabannya.
"Enggak!"
"Gak malu apa nolak manager setampan aku?"
Mulutku menganga. Apa tidak terbalik? Orang normal pasti berpikir dia yang tidak tau malu, meminta balasan cinta pada seorang karyawan di depan bawahannya di kantin dengan cara memaksa. Ah, benar-benar gila.
Suara dering ponsel di dalam tas membuyarkan pokusnya Pak Danu, sedikit loncatan, tangan ini bergerak cepat menyambar tas dari sandraan.
Kau kalah lagi, Tuan! Tersungging senyum lalu berbalik meninggalkan pria menyebalkan itu. Tontonan berakhir, riuh beberapa karyawan dengan bermacam ekspresi. Terserah. Aku tidak akan menerima rasa cinta seseorang karena kasihan, jabatan, juga tampang.
"Key, kenapa gak terima Pak Ganteng?" Fira menepuk bahu dan mesejajarkan langkah denganku.
"Ganteng tapi tengil," tukasku.
Gadis sebaya denganku ini malah terkikik, lalu menarik tangan ini duduk di pembatas jalan antara gedung satu dan dua.
"Aku setuju loh kamu sama Pak Danu."
Memutar bola mata jengah. Mungkin beberapa wanita mendambakan sosok menyebalkan Danu, tapi entahlah hati ini rasanya masih enggan untuk menerima seseorang. Takut jika penghianatan kembali aku alami.
"Dari pada si Luthfi," tambah Fira dengan mulut penuh roti.
Getar di dada ini kembali muncul, setiap kali nama itu terdengar. Ah, mengapa hati enggan lepas dari sosok yang sudah membuat luka.
"Mending Pak Danu." Menelan saliva, aku kira ocehan si cewek bawel ini sudah berhenti, malah makin menjadi segala membanding-bandingkan Mantan paling kubenci dengan pria tengil yang sekarang berdiri di depan kami.
"Pulangnya bareng aku ya, Key!" Tanpa menunggu jawaban, Pak Danu langsung pergi masuk ke gedung satu.
Mencebik, ujung netra ini masih menatap kesal punggung datar si pria kisaran tiga puluh tahun. Suara kikikan dari Fira membuatku tertoleh padanya. Gadis bawel itu malah tambah meledekku dengan jari dari kedua tangannya menyerupai icon hati.
----
Pukul dua siang, semua karyawan yang bekerja di shift pagi berhamburan keluaran di gantikan oleh shift lain. Kaki ini mengayun cepat, jangan sampai hari ini kembali gak kebagian kursi di mobil jemputan dan berujung dengan berdiri dalam bis.
"Keysa!" Fira berlari dan merengkuh bahu ini. "Lu gak jadi di anter pulang sama Pak Danu?"
Mengankat bahu, tak peduli dengan Manager tengil yang mungkin saja menunggu di parkiran khusus motor.
"Lah, kasian loh," lanjut Fira.
"Bomat, lagian tadi aku gak bil--" Ucapanku terpotong oleh deru mesin motor CBR pria berseragam biru itu. Menyilangkan motor menghalangi langkah kaki ini. Alis tebalnya naik turun lalu netranya mengisyaratkan agar aku mengisi jok belakangnya, yang pasti bakal bikin dada ini nempel di punggungnya.
Kembali kuacuhkan pria tengil itu. Bodo amat dengan karyawan yang mulai menggunjingkanku. Menerima atau tidak aku yakin akan tetap menjadi gunjingan karyawan lain.
Memutari motor Pak Tengil, melanjutkan langkah menuju bis karyawan. Untunglah, masih tersisa satu kursi bagian belakang untuk duduk sedikit menghilangkan penat.
"Geser, geser!"
Mendongak, pria itu lagi. Pria yang tak henti menggangguku. Darah ini mendidih rasanya ingin berteriak pada wajah yang memperlihatkan deretan gigi putihnya.
'Pak Danu jangan ganggu aku lagi!'
Tapi tertahan di kerongkongan hingga menimbulkan sesak di dada ini.
"Kursinya udah penuh, lagi pula kenapa Bapak naik jemputan, ini kan belum waktunya bapak pulang?"
"Aku ijin antar kamu pulang dulu."
Mengrenyitkan dahi, menoleh pada karyawan yang duduk di sudut kursi dekat jendela bis. Ekspresi yang membuatku menelan saliva, lalu mengangguk meminta maaf. Sedang lenganku terus disenggol oleh manager tak tahu malu ini.
"Aaagrh, ayo kita naik motor Bapak saja!" Mendengkus kesal, terpaksa dari pada harus mendapat hujaman mata tajam dari karyawan disebelahku.
Berjalan bersisian menuju parkiran, pria jangkung ini tak henti mengoceh, mengumbar gombalan receh membuat kepalaku ingin memuntahkan isinya.
Di area parkir di antara motor yang berjejer, tak sengaja pandangan ini berbenturan dengan pria di atas tunggangan honda vario bersama perempuan yang menjadi jurang pemisah. Luthfi pria yang sempat menyematkan cincin di jari manis sebagai tanda terikatnya diri ini saat lamaran setahun lalu sebelum aku masuk ke pabrik textil di Purwakarta ini.
---
Lanjut?
KAMU SEDANG MEMBACA
Manager I Hate U
RomanceBagaimana jika dirimu dikejar seorang pria 10 tahun lebih tua darimu tapi, mempunyai sifat kekanak-kanakan? Manager Bujang lapuk ini, selalu menggangguku, bahkan selalu berbuat nekat hanya untuk mendapatkan balasan rasa dariku. Bukan sok jual mahal...