[2] Memo.

15 2 0
                                    

"Bagaimana anda mau diluluskan?" bentak Mrs. Dabin. "Kalau absen saja sudah 26 hari."

Huh? Apakah aku baru saja berkelana dari bukit Sahara ke Gunung Jaya Wijaya?

Ku sedikit mengerutkan dahi, termenung, mencoba untuk meruncingkan ingatanku.

Hasilnya nihil.

Mrs. Dabin menampar telapak tanganku dengan selembar surat peringatan yang nilainya sama dengan nurani anak geng sekolahan.

"Karena nanti sore kabarnya akan diadakan demo besar-besaran." Mrs. Dabin berdehem. "Isi saja surat ini, tolong tanda tangani bagian ini oleh orang tua anda."

Surat peringatan macam apa yang isi jarinya berlembar-lembar tiada tara?

"Kenapa surat ini kayak gini bu?" tanyaku, penasaran, walaupun banyak keringat aku korbankan.

Mrs. Dabin berdiri, menyorot pandangan ke arah dua bola mataku. Pastinya, ia telah mengidentifikasi kebodohan yang telah aku publikasikan di depan dirinya.

"Susah sekali ya anda diajak negoisasi." Kedua tangan Mrs. Dabin tampak terlipat di depan dadanya.

Aku, hanya berdiam diri. Tidak, tak mungkin seorang Roseu terlena di atas keputusasaan. Tentunya, diriku ini turut berdiri. Mengepalkan kedua tanganku yang masing-masing tengah berada di sisi paha. Seolah-olah menantang ideologi yang ia tanam sejak masa kekaisaran Tsar 2.

"Apa? Anda menantang saya?!" bentaknya.

Aku yakin, bersilat lidah dengannya sama saja dengan menjadi alas kubur baginya. Cukup, menayangkan wajah Hitler saja sudah cukup bagiku.

"Kurang ajar ya anda."

"Memang, baru tahu ya bu?" Tanpa ragu pun aku tersenyum, sinis, yang lalu menganggukan kepala. Secepat mungkin aku lari darinya, menuju pintu yang jaraknya tidak lebih dari 1 meter. Tetapi semua itu luntur ketika lenganku tercegat oleh cengkraman guru killer tersebut. Badanku lemas tak terarahkan.

"Mau kemana anda?" tanyanya. "Sini biar saya kasih pelajaran sedikit."

Tangan kanan ia lepaskan di ambang angin. Pipiku hanya bisa menantikan doorprize yang akan diserahkan segera. Aku membenamkan mata. Walaupun mataku tak berpihak ke blok apapun. Begitupula pipiku, ya Tuhan.



Mengapa..

Hidupku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hidupku..

Hidupku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
★ 𝐒𝐌𝐔𝐆𝐋𝐈𝐀𝐍𝐊𝐀Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang