Gemericik air berasal dari kolam ikan di sudut taman. Kolam itu dikelilingi batu alam yang aromanya menguar setiap air membasahinya. Ikan-ikan hias langsung berbondong-bondong menyerbu butiran pelet yang berwarna-warni.
Evans bersandar pada kursi taman yang ia bawa dari teras belakang rumah. Di tangan kanannya memegang sekotak pakan ikan. Sementara, satu tangan lainnya perlahan menebarkan isi kotak tersebut ke dalam air.
Ia menghentikan kegiatannya ketika para ikan mulai malas berebut pakan yang terakhir ditebarkan oleh majikannya. Setelah itu, kotak tersebut ditutup agar tidak tumpah, lalu didekapnya. Tubuh Evans merosot, kepalanya menengadah menghadap langit gelap yang kosong.
Matahari sudah bergulir, tetapi sang candra tak kunjung hadir di harinya. Bayu berdesir menegakkan bulu romanya. Di komplek rumah keluarga Widiartono tak satu pun kendaraan berlalu. Sehingga menciptakan suasana yang amat sepi. Hanya suara gelembung ikan, gelombang air, gemericik pancuran, dan belalang yang bergemerisik di antara rerumputan.
Lelaki beralis tebal itu memejamkan matanya sejenak untuk menghilangkan penat dan sesekali menarik nafas panjang. Akan tetapi, yang dihirup bukanlah aroma alam. Melainkan bau asap rokok yang menusuk kulit dalam hidungnya. Ia terbatuk dan membuka mata saat posisinya masih menengadah.
"Kak Yonna!"
Begitu menyadari kakak laki-lakinya berdiri di belakangnya, ia langsung beranjak dari kursi dan berbalik badan. Terlihat Yonna tertawa meledek.
"Kakak kan tahu Evans nggak suka bau rokok," protesnya sambil menutup hidung sampai mulut menggunakan tangannya.
"Ya maaf, hehe..."
Kemudian, rokok elektrik itu dimatikan segera dan ia simpan dalam saku kemejanya yang melapisi kaus cokelat bermotif garis.
Evans berpaling. Matanya lebih memilih ikan-ikan piaraan.
"Ngomong-omong gimana soal Mei?" tanya Yonna tiba-tiba sambil mensejajarkan posisinya dengan adiknya.
"Gimana apanya?" Evans spontan menengok. Alisnya bertaut saat melihat wajah datar Yonna.
Kemudian, mereka saling berpandangan. Netra Yonna seakan sedang menyelami pikiran Evans.
"Kakak mau ngomong..."
Evans menunggu.
Yonna masih bergeming di tempat.
"Nggak jadi, deh."
"Ngomong apa?" tanya Evans yang sedikit menyesali lanjutan perkataan Yonna.
"Kakak bilang nggak jadi."
"Tolong jangan bikin Evans penasaran."
"Kakak nggak berhak ngomong ini ke kamu. Kamu tanya langsung aja ke yang bersangkutan. Kak Yonna udah ngantuk. Duluan, Ma Bro," papar Yonna, menepuk satu bahu Evans.
Ini bukan waktu yang tepat, Ev, batin Yonna yang berjalan memunggungi Evans.
Cowok berambut cokelat yang bercampur sedikit pirang di beberapa helainya mengaktifkan ponsel.
Sejak kehadiran Meilin dalam hidupnya, kebiasannya menjadi sering membuka roomchat dimana hanya satu pesan di sana bernama Mei. Lalu, dimana pesan-pesan lainnya? Ia arsipkan dan senyapkan untuk grup-grup yang baginya tidak penting, seperti grup kelasnya sendiri. Karena, Evans jarang masuk kelas dengan alasan urusan atletik. Tugas? Dia lebih suka bertanya langsung ke guru yang bersangkutan.
Dari malam minggu, Meilin sangat sulit dihubungi. Terdeteksi bahwa terakhir gadis itu membuka roomchat-nya adalah hari Sabtu, pukul 18.00. Mulai saat itu, Evans tidak dapat melihat kata online di bawah nama kontak Mei.
Di saat kegelisahannya yang baru ia rasakan saat ini selama berada di samping Meilin, ia terkadang iseng. Alih-alih mengecek notifikasi, Evans malah membuka-tutup aplikasi roomchat atau mengamati foto profil Meilin.
Satu kata yang mampu ia katakan, "sosok dewi". Meilin, berwajah oriental dari ibunya yang berasal dari negeri gingseng dan ayahnya yang asli orang Batak, Indonesia. Tubuhnya mungil membuat Evans gemas karenanya.
👟👟👟
"Evans..." wanita berwajah oval itu memanggil anaknya yang nampak malas berbicara.
"Hm?"
Di tengah orang-orang yang penuh kebahagiaan, Evans justru memasang ekspresi kesal, karena bundanya melarang ia mengenakan kaus dan celana jeans ke acara pernikahan rekan ayahnya.
"Ayok... salaman."
Di hadapannya seorang gadis yang tingginya jauh di bawah Evans menyodorkan tanganya sambil tersenyum manis. Pipinya yang merah jambu alami membuat efek imut di wajahnya. Seketika hati Evans luluh setelah melihatnya.
"Meilin Jung."
Dengan ragu, ia turut menyalami gadis itu dan berupaya menarik kedua sudut bibirnya.
"Evans," hanya itu yang bisa dikatakan untuk bahan perkenalan. Ia tak mampu lagi berbicara apapun di depan Meilin.
Di atas lantai dua, tetapi masih di dalam kawasan ballroom hotel mereka berdua menerawang tamu-tamu yang duduk mengitari masing-masing meja bundar sejumlah 18 buah.
Di atas sana, mereka menopang lengan di atas railing sambil mendengarkan lagu berjudul Marry your Daughter dari Brian McKnight yang dinyanyikan oleh seorang pria gempal berlapis jas hitam dan diiringi orkestra.
"Nama lengkapmu siapa?" tanya Meilin melenyapkan rasa sunyi antara mereka berdua yang berada di tengah keramaian gedung.
"Evans H. Widiartono."
"H-nya apa?" tanyanya lagi.
"Hendra."
"Kamu jarang ngomong ya?"
"Nggak juga."
Mereka diam lagi cukup lama.
"Grogi?" Pertanyaan Meilin yang satu ini mantap membuat dada Evans sesak dan langsung menangkis dugaan itu.
"Nggak," bela Evans seraya menoleh ke arah lawan bicara. Dia terkesiap untuk kesekiankalinya kala melihat sosok malaikat berwujud manusia ini.
👟👟👟
Tok... tok... tok...
Ketukan pintu kaca mengejutkan lelaki jangkung itu. Dilihatnya sang ayah yang mengisyaratkan dirinya untuk segera kembali ke kamar. Evans beralih ke jam yang tertera di ponselnya. 22.00. Ini sudah larut, tetapi Evans masih memikirkan Meilin tanpa henti. Sang penakluk hati pada pandangan pertama untuk cinta pertama.
Lelaki itu bergegas masuk ke dalam rumah untuk beristirahat dan menyiapkan mental guna bersua dengan pelatihnya di esok hari.
👟👟👟
KAMU SEDANG MEMBACA
End
RomanceMungkin angin telah menerpa segala memori Pudar di angkasa saat kau kembali Kala mata kita bertemu dan dongeng telah usai Namun, sepertinya aku menemukan kisah yang baru saja dimulai Start: August 4th, 2019 Ending: nggak tau kapan. Fallaw aja akun s...