44. rencana mereka

6.8K 1.4K 141
                                    

"Cel," panggil Dean perlahan usai membuka pintu bilik Marcel. "Lo lihat dad, gak?"

Marcel yang sibuk menyusun bait demi bait syair lagu dibuat menoleh seraya meringankan letak kacamatanya. "Katanya dia mau pergi rapat di villa, mau bahas masalah amal sama orangtua lain."

"Amal? Acara amal gitu?"

"Iya." Jawab Marcel seadanya dan kembali bekerja pada kertas iramanya. "Lo gak tahu kalau dad dan teman-teman Superior Mansionnya mau buat acara amal?"

Dean mengendikkan bahu, kini memilih merebahkan diri pada tepi ranjang. "Gue aja baru tahu dari lo sekarang."

Setelah itu Marcel tak menanggapi obrolannya dengan Dean karena terlalu fokus lagi pada aransemen lagunya. Tidak lama setelah percakapan keduanya berakhir, pintu kamar Marcel kembali terbuka dan kini menghadirkan Seo Johnny di ambangnya.

"Kalian berdua," singkat Johnny tak beranjak dari ambang pintu. "Lusa kita akan ada acara amal. Daddy udah kirim rundown acaranya lewat chatroom, sekalian sama tempat dan temanya."

Dean bangkit. "Pakai dresscode atau gak?"

"Pakai, kemeja putih sama celana kain hitam."

Mendadak Marcel meletakkan pensilnya dan membuka kacamata. "Dad, kemeja putihku udah kotor. Bulan lalu kena lumpur pas main sama adiknya Dylan waktu itu."

"Ya udah. kamu tinggal beli baru aja besok. Nanti dad bilang ke supir untuk antar kamu ke storenya Om Tyrese yang baru." Jelas Johnny sambil merenggangkan otot-otot tangannya. Ekor mata Johnny lantas tak sengaja melihat tumpukan kertas-kertas yang berada di hadapan Marcel selagi melakukan perenggangan. "Apa itu? Tumben tugas kamu kayak begitu?" Johnny mendekati Marcel.

"Ini bukan tugas dad, Marcel lagi buat lagu."

Johnny menunduk dan mengamati bait demi bait lagu buatan si sulungnya. "Untuk apa?"

"Iseng aja, siapa tahu aku bisa ikut event musik sebagai komposer. Terus hari minggu nanti aku mau busking kalau gak ada urusan mendadak. Marcel pengen coba busking. Tapi—apa dad keberatan kalau misalnya aku ngalakuin hal itu?"

Alis Johnny nyaris bertautan. "Maksud kamu?"

"Kan aku mau nyanyi di jalan, ya—semacam ngamen gitulah. Tapi ini aku gak ngamen beneran minta uang, istilahnya busking. Aduh—gimana sih jelasinnya?"

Dean tertawa renyah menanggapi sang kakak. "Apaan, sih? Lo daritadi ngomongnya ribet banget."

"Iya itu makanya."

Johnny berusaha mencerna penuturan Marcel yang berbelit. Menunggu beberapa detik, akhirnya Johnny dapat memahaminya dan terlihat mengangguk. "Oh, ya ya. Dad paham. Tumben kamu ada rencana kayak gini?"

"Marcel mau menghibut orang, dad. Like what mom said, untuk membuat orang lain bahagia itu bisa dilakukan dengan banyak cara dan yang penting tulus."

Tiba-tiba Johnny mengingat mendiang ibu dari kedua anaknya, atau mendiang istrinya sendiri. Tetapi Johnny berusaha terlihat santai dan menutupi risaunya dengan mengangguk untuk kesekian kali. "Kamu sendiri aja? Gak bareng Dean?"

"Kalau dia mau."

"Huuu, gue sih mau mau aja. Lo yang gak pernah ngajakin gue dari dulu!"

"Jadi lo mau gak, nih?"

"Mau!"

Johnny menegur kedua putranya agar tidak melanjutkan adu argumennya. "Udah udah, kalian ini—masa belum apa-apa udah berantem?" Ia lalu melangkah menuju pintu kamar, beranjak meninggalkan kedua Seo. "Kalian atur acara kalian sendiri, karena dad sudah ajar kalian harus mandiri jika butuh sesuatu. Oke?"

"Oke, dad." Jawab Marcel dan Dean serempak.

"Jangan tidur terlalu malam. Good night, sons." Final Johnny pada percakapan mereka.

• • •

Perjalanan dari kaki jenjang Lee Tyrese terdengar mengetuk indah, menimbulkan bunyi di beberapa bagian dalam mansion yang ia lewati. Tyrese terlihat lelah setelah menghadiri rapat bersama teman-temannya di salah satu villa dalam kawasan Superior Mansion.

Pria itu tidak langsung memasuki kamarnya, namun terlebih dahulu menyempatkan waktu mengunjungi kamar si sulung untuk memberi tahukan acara penting. Saat membuka pintu kamar Keenan, si pemilik kamar tak terlihat di dalam sana. Itu membuat Tyrese segera menutup pintu dan berjalan menuju kamar Jinan, menemukan kedua anaknya sedang bermain sangat meriah di dalam sana.

"Aih!" Seru Keenan melempar bantal pada Jinan yang berlari menjauh. "Curang lo!"

Jinan terbahak-bahak dan meraih bantal sofa guna membalas serangan kakaknya. "Lo yang mulai! Weeek—"

Keenan reflek berdiri, entah menarikan tarian apa di atas ranjang adiknya. Wajahnya bahkan meledek-ledek Jinan tanpa menyadari kehadiran ayahnya yang hanya bisa mengamati. Hal serupa terjadi pada Jinan, membalas ledekan kakaknya tanpa mengetahui kalau Tyrese sudah menggeleng-geleng menatap kelakuan mereka.

"Keenan, Jinan." Panggil Tyrese lembut namun mampu membuat Keenan duduk, sementara Jinan segera berdiri tegap menyembunyikan kedua tangannya di belakang tubuh. "Kamar gak boleh berantakan, kasian bibi nanti capek beresin kamar."

Keenan dan Jinan menukar pandangan satu sama lain. Di antara anak-anak Superior Mansion, Lee bersaudara merupakan anak-anak yang paling menurut pada ayah mereka. Bahkan mereka tak berani membalas perkataan Tyrese meski pria itu sedang tidak marah.

"Besok kita ada pertemuan sama mama kalian, sama Om Ten juga. Nanti kita akan bicara baik-baik, soalnya pertemuan lalu itu batal, kan?" Mata Tyrese menatap satu persatu putranya. "Besok kalian pakai setelan baju yang maid siapkan. Papa udah kasih tahu mereka, paham?"

Keenan mengangguk. "Iya, pa."

"Oh iya. Tambahan. Lusa kita ada acara amal Superior Mansion. Kalian pakai kemeja putih dan celana kain hitam. Keenan, kamu punya kemeja putih, kan?"

Kali ini Keenan tampak menggeleng. "Lupa, ada atau gak. Nanti aku cek di lemari."

"Kalau misalnya gak ada, kasih tahu papa. Soalnya blackcard kamu baru papa ambil tadi. Sekalian kamu coba pakai besok kalau memang kemeja putih kamu gak ada."

Dalam lubuk hati yang paling dalam, Keenan begitu ingin meloncat kegirangan karena setelah sekian lama mendambakan blackcard, akhirnya ia dapat memilikinya.

"Oke, pa."

Tyrese mengangguk ringan, merasa dirinya telah usai menyampaikan semua hal penting kepada mereka hari ini. Sebelum keluar kamar dari kamar Jinan, Tyrese menoleh pada si pemilik kamar itu dan bertanya. "Katanya kamu sakit perut? Kok lari-lari?"

Jinan berjalan ke arah ranjang sambil menggosok-gosokkan telapak tangannya. "Udah mendingan, pa."

"Itu makanya, kamu jangan keseringan main ponsel." Omel Tyrese sambil berbalik lalu pergi meninggalkan Keenan dan Jinan. "Main ponsel sepanjang hari. Gak malam, siang, sore, pagi—"

Suara pria itu lambat laun terdengar hilang seiring langkah kakinya menjauh dari kamar.

Raut wajah Jinan dibuat datar, tak lama berselang menatap kakaknya sebal. "Hubungannya sakit perut sama main ponsel apa coba?"

Keenan tertawa kecil, kembali meledek adiknya yang terkena omelan sang papa.

SUPERIOR MANSION ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang