1

3.2K 202 43
                                    

Lidya tengah duduk di dalam kereta yang membawanya pergi ke luar kota. Ia tidak henti-hentinya menatap jendela yang kini kabur karena rintikan air hujan. Sama seperti jendela itu, matanya kini lelah menggenang air mata. Hampir satu jam ia menangisi hal yang sama sekali tidak ia mengerti.

Handphonenya masih senantiasa ia genggam, tidak ada hal lain yang ia pikirkan. Ia hanya berharap lelaki itu mengusirnya dalam keadaan tidak sadar dan menyesal atas perbuatannya. Namun itu sia-sia, tidak ada telepon ataupun pesan singkat kecuali dari operator.

"Apa gue emang ditakdirin enggak bahagia? Kenapa kebahagiaan gue direnggut? Ada apa dibalik semua ini?"

Semua pertanyaan itu mengganggu hatinya, ia teramat gelisah dengan keadaannya terutama keadaan lelaki itu, Louizhiro Zachary Groye.

Penumpang yang berada di hadapannya menatapnya dengan iba. Mereka telah berusaha menanyakan sesuatu dengan Lidya namun Lidya tetap bungkam.

Pegawai kereta berpatroli dan menatap Lidya dengan heran, pasalnya setelah beberapa jam berbolak balik kondisi Lidya tetap seperti itu.

"Mbak tiketnya?" tanya pegawai tersebut dengan sedikit ramah.

Lidya sedikit menoleh dan mencari tiket tersebut, ia mencari tiket tersebut di semua sakunya namun ia tidak menemukan apapun. Ia menggigit bibir bawahnya, tikenya hilang atas kecerobohannya sendiri.

"Mana?" tanya pegawai tersebut tidak sabar.

Lidya menatapnya dan mencemaskan dirinya sendiri. "Hilang pak."

Pegawai tersebut mengerenyitkan dahinya dan menatap marah ke arah Lidya. "Bagaimana bisa hilang?! Oh ini alasanmu selalu menatap jendela agar kami iba?! Peraturan tetap peraturan dan setelah ini ada stasiun kecil dan kamu harus turun disana!"

"Tapi pak, kondisi kini sangat gelap. Tengah malam pak, dan hujan mungkin semakin deras." Lidya memperhatikan kembali ke arah jendela. Pegawai tersebut berjalan meninggalkan Lidya dan yang lainnya.

"Saya tidak peduli! Peraturan tetap peraturan, bagaimana kalo kamu diturunkan di tengah hutan ini? Persiapkan barang bawaanmu."

Lidya terduduk lemas, Ia teringat lelaki itu. Sifat keras kepala pegawai tersebut seperti Zhiro, apa yang dikatakannya tidak boleh dibantah. Hatinya malah semakin sesak.

Ia menyiapkan kopernya dan tidak beberapa lama kereta berhenti di sebuah stasiun kecil. Lentera dengan cahaya redup menyinari gelapnya ruangan stasiun itu. Ada beberapa petugas yang memeriksa keadaan kereta. Untungnya, bukan hanya Lidya yang diturunkan disini.

Lidya turun dengan lemas dan duduk di ruang tunggu yang sangat begitu kecil bersama orang-orang yang turun dari kereta bersamanya.

Waktu telah berangsur lama, satu persatu dari mereka telah dijemput keluarganya. Dalam kata lain ini adalah stasiun tujuan mereka. Kini Lidya sendiri, ia melirik ke arah petugas. Stasiun pun akan tutup.

"Permisi pak? Disini penginapan di mana?" tanya Lidya hati-hati. Dingin yang semakin mencekam menembus kulitnya walaupun jaket The~D telah menambah balutan tubuhnya.

"Penginapan? Ada di 100 m dari sini. Kamu bisa berjalan sebentar, maaf saya tidak bisa mengantarmu karena saya tidak bawa motor dan rumah saya di dekat sini," jelas Pegawai tersebut.

"Baiklah Pak. Tidak apa-apa." Lidya berjalan segera ke arah yang ditunjukkan oleh pegawai tersebut, takut menjelajahi pikirannya ia kini berjalan sendirian di tengah malam dan di jalan yang penuh hutan di kanan dan kirinya.

Handphonenya bergetar dalam sakunya, ia mengecek siapa yang menelepon itu. Farhan.

Ia segera mengangkat telepon tersebut.

"Lo dimana?"

Sebuah pertanyaan dengan nada yang teramat cemas kini terdengar di telinga Lidya. Bukan dari lelaki yang ia tunggu, tetapi dari lelaki yang telah memeluknya di Bandara.

"Gue ada di suatu tempat Han. Gue gak tau di mana, di sini terlalu gelap."

"Gue gak tau apa isi otak Zhiro sekarang! Dasar ga berguna! Kalo dia gak sanggup ngejaga lo biar gue aja yang ngejaga! Lo ke penginapan disana karena besok gue bakal balik lagi ke Indonesia."

"Han, gue mau tanya sesuatu sama lo. Lo tau sesuatu tentang Zhiro?"

"Jangan ngomongin nama orang itu! Gue muak sama dia! Orang gak cuma! Ga punya otak! Tengah malem dia biarin lo disana! Kalo gue udah pulang kesana! Habis dia!"

"Lid? Lo gak apa-apa?" kini suara El yang terdengar di telinga Lidya.

"Lumayan," kekeh Lidya atas nasibnya sendiri.

"Tuh orang ga punya otak! Lo jaga diri baik-baik! Dia bilang kalo dia punya tunangan dan dia ga mau lo jadi gangguan di hubungannya! Kan udah bilang dia ga punya otak! Lo juga kenapa ga ke rumah The~D yang lain?"

Jlebb.. Benar apa yang dikatakan El. Mengapa Lidya sebodoh ini? Siapa itu tunangannya? Hah tunangannya?

"Gue kalut El, gue bingung." Lidya tanpa sadar meneteskan air matanya, kesedihan melanda dirinya.

"Udah gak apa-apa yang penting lo gak apa-apa. Belum nyampe penginapan? Besok gue nemenin Farhan jemput lo, sekalian nyari orang gila itu dan ngehajar dia!"

Lidya melihat ke arah ujung jalan, banyak motor dengan ugal-ugalan melaju kencang menuju dirinya. Motor-motor itu kini memutari dirinya.

"Apa itu?" cemas El dari sana. Bukan saja El yang teramat begitu cemas, tetapi wanita yang kini berada di tengah perputaran mereka lebih merasa cemas.

"El. Lo kayaknya ga usah jemput gue besok. Karena udah ada yang jemput gue di sini. Kematian dan kehancuran gue," lirih Lidya dengan nada yang sedikit gemetar.

Kini motor itu berhenti di hadapan Lidya, Lidya tetap menatap lurus ke depannya.

"Serahin tas, hape, serta diri lo ke kami."

"Apa-apaan itu? Siapa dia? Seenaknya dia mengatakan seperti itu ke lo?!" El mengamuk dari sana. Lidya hanya mendengar, ia tidak menjawab apa-apa.

Satu orang berusaha mengambil handphonenya namun Lidya menghindar dan malah tidak sengaja menghempaskan Hapenya. Layarnya pecah dan retak. "Sial!"

"Gue ulangin, serahin diri lo!"

Lidya menyunggingkan senyumnya. "Ga semudah itu!"

I'll Do Anything For You [Lathfierg Series]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang