(14)

3.2K 287 10
                                    

"Ma!" Gue nggak bisa nggak kaget sama ucapan Mama sekarang.

"Apa? Mama nggak salahkan? Mama yakin kamu paham sama maksud ucapan Mama barusan." Raut wajah Mama terlihat sangat serius.

Gue masih berdiri dengan tangan yang mulai gue genggam erat, gue tahu Mama kenal dan tahu gue gimana tapi beneran, gue sama sekali nggak nyangka kalau Mama bakalan sadar sama perubahan gue secepat ini.

"Juna itu calon adik ipar kamu, Juna adiknya Zian, apa kamu nggak mikirin itu semua?" Tanya Mama lagi, gue mengangguk pelan, gue mikirin semuanya dan karena gue mikirin makanya gue kesusahan sendiri.

"Kalau kamu mikirin, andai kata kamu nggak sama Zian, kamu sama Juna juga beneran nggak mungkin Dek." Lagi-lagi gue mengangguk paham.

"Aku minta maaf tapi aku beneran nggak punya perasaan sedalam itu sama Juna, aku juga masih sayang sama Mas Zian jadi Mama nggak perlu khawatir." Gue nggak akan aneh-aneh.

Mendengarkan ucapan gue dan seakan sadar kalau gue beneran merasa bersalah, Mama juga terlihat mencoba lebih tenang, Mama harusnya akan percaya sama gue karena gue beneran berusaha melakukan yang terbaik.

"Mama bukannya marah apalagi sampai nambah beban kamu tapi jangan sampai, cuma karena perasaan sesaat, hubungan yang udah kamu perjuangkan lama berakhir gitu aja, Juna baik tapi Zian juga nggak ada kurangnya, kamu paham maksud Mamakan?" Mama bahkan mengusap bahu gue sekarang.

"Iya, aku paham, Mama jangan khawatir." Berulang kali gue mengingatkan Mama untuk nggak khawatir dan gue harap, Mama beneran percaya.

.

Mas Zian! Juna! Mas Zian! Juna! Kenapa dua nama ini terus aja wara-wiri di otak gue? Mereka nggak capek apa? Gue capek banget elah, punya otak kenapa nggak bisa di ajak kompromi banget begini?

"Lo suka dua-duanya makanya susah untuk milih." Pandangan gue teralih mengikuti arah suara yang keluar barusan, Fara mengerutkan keningnya memperhatikan gue dengan seksama.

"Gue nggak berhak suka dua-duanyakan, Ra? Gue tetap harus milih." Pertanyaan gue yang langsung di balas gelengan cepat oleh Fara, menghembuskan nafas berat, gue kembali membaringkan tubuh gue di ranjang dan menatap langit kamar dengan malas.

"Lo nggak bisa milih karena Juna udah jelas menolak berada dalam pilihan yang lo maksud barusan, yang lo punya sekarang cuma pilihan mau bertahan sama Mas Zian atau enggak, udah lo cuma perlu mikirin itu, kelar." Fara melanjutkan.

Gue lagi-lagi menghela nafas dalam, Fara juga bener, gue nggak bisa milih karena Juna memang bukan pilihan, gue cuma bisa milih bertahan atau enggak untuk hubungan gue sama Mas Zian, hubungan gue sama Mas Zian sekarang juga bisa di bilang nggak ada masalah, kenapa? Ya karena yang bermasalah memang cuma gue sendiri, yang mulai gila, gue doang.

"Lo masih cinta nggak sih sama Mas Zian? Kok gue ngerasa kaya udah enggak?" Gue bangkit dan langsung melayangkan tatapan menusuk untuk Fara, kenapa kesimpulannya jadi ekstrem begitu?

"Kenapa gitu? Lo jangan bikin gue takut." Rada ngeri soalnya kesimpulan Fara barusan, pemikiran gue aja nggak sampe kesitu.

"Baru mikir aja lo udah takutkan? Tapi ya kenapa gitu apanya? Kalau lo masih cinta sama Mas Zian, semuanya nggak bakalan lo bikin seribet ini, tinggal lanjutkan pernikahan lo berdua dan bahagia, nggak akan ada drama kaya sekarang." Dan setelahnya hening, Fara mulai memejamkan matanya dan gue kembali dengan pemikiran gue sendiri.

Semuanya memang nggak akan rebet kalau gue bisa yakin dengan perasaan gue sendiri, kenapa gue galau ya karena ada yang salah sama perasaan gue sendiri? Gue ragu karena nggak yakin dengan apa yang gue rasaian sekarang.

Pletuk! Gue beralih dengan benda pipih yang terletak asal di atas ranjang, melihat nama Juna awalnya gue tidak tertarik tapi isis pesan chatnya beneran bikin kaki lemes, Mas Zian kecelakaan.

"Ra! Mas Zian kecelakaan." Jangan tanya ekspresi Fara sekarang, kita berdua langsung berangkat ke alamat yang dikirim Juna tapi dalam hati gue udah nyoba nahan rasa kesal gue ke Juna, bisa-bisanya dia cuma ngabarin gue lewat chat, sebegitu niatnya dia menghindari gue.

Hampir setengah jam berlalu, gue sama Fara sampai di rumah sakit yang Juna maksud, disini udah ada orang tuanya Mas Zian dan pastinya Juna tapi syukurnya gue bisa langsung bernafas lega karena ternyata Mas Zian udah sadarkan diri, walauapun kondisinya nggak bisa dibilang baik tapi gue beneran bersyukur.

"Mas nggak papa?" Tanya gue dengan isak tangis tertahan, entah kenapa mendadak gue nggak bisa ngontrol perasaan gue.

"Hei, kenapa nangis? Mas nggak papa?" Mas Zian mengulurkan tangannya yang langsung gue genggam erat, gue menggeleng cepat nggak bisa memberikan jawaban apapun, yang gue tahu begitu Juna ngabarin kalau Mas Zian kecelakaan, gue nggak bisa mikir apapun, gue cuma takut kalau apa yang gue rasaian dulu bakalan terulang lagi, Almarhum Papa juga meninggal karena kecelakaan.

"Papa sama Mama keluar dulu." Pamit orang tua Mas Zian yang di ikuti oleh Fara dibelakangnya, sekarang di dalam ruangan cuma ada gue, Mas Zian sama Juna yang masih duduk di sofa dengan begitu acuh.

"Nggak papa gimana? Mas bikin aku takut." Dan tangis gue beneran pecah, cengeng banget memang padahal umur gue udah berapa sekarang.

Awalnya gue pikir Mas Zian bakalan ikut khawatir karena ngeliat gue nangis begini tapi yang gue dapati adalah Mas Zian berusaha keras nahan gelak tawanya, kenapa? Apa ada yang lucu sekarang?

"Mas malah ketawa? Aku malu-maluin gitukan?" Iya gue sadar, udah umur segini tapi masih nangis di depan orang rame, bikin malu banget pasti, gue paham.

"Kamu mikir apa sih Ran? Siapa yang malu? Mas malah bahagia banget sekarang." Mas Zian narik gue udah duduk di sisi ranjang dia berbaring sekarang, sambil mengusap air mata asal, gue menuruti keinginannya.

"Mas bahagia karena Mas tahu kalau ternyata kamu masih peduli sama Mas, kamu masih khawatir sama Mas dan itu artinya kamu masih sayang sama Mas." Mas Zian beneran keliatan bahagia dan itu malah bikin gue makin kesal, omongan gue sebelum ini seolah nggak dipercaya.

"Memang yang bilang aku udah nggak sayang sama Mas itu siapa hah?" Kesal gue mukul lengan Mas Zian balik, kan gue udah ngomong berulang kali, gue masih sayang sama Mas Zian, apa ada yang salah sama pendengaran mereka semua?

"Auh, Mas lagi sakit Ran." Keluh Mas Zian mengusap lengannya yang gue pukul barusan.

"Katanya nggak papakan, nggak sakitkan? Terus sekarang ngeluh kenapa? Dasar orang tua." Gue beneran meluapkan kekesalan gue sekarang tapi disamping itu, gue juga menyadari satu hal, ternyata gue masih sangat takut kalau harus kehilangan Mas Zian, gue masih sesayang itu.

"Rana!"

"Heum, apalagi sekarang?" Gue nggak terlalu memperhatikan karena sibuk memperhatikan lengan Mas Zian yang di perban.

"Ayo menikah secepatnya." Gerakan tangan gue langsung terhenti mendengar ucapan Mas Zian, gue terdiam sejenak sebelum mengangguk mengiakan.

"Aku keluar dulu." Juna bangkit dari duduknya dan keluar ruangan dengan menutup pintu cukup kasar.

My Little HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang