Penyesalanku setelahnya adalah kesadaran bahwa semuanya sudah tidak lagi sama.
Disadari atau tidak, aku dan Leo perlahan mulai menjauh. Atau ia yang memang sengaja menjauhiku.
Orang lain mungkin tidak sadar, tapi aku menyadarinya. Inilah yang kutakutkan, aku benar-benar kehilangan sosok Leo.
Leo. Leo-ku yang baik. Maaf aku sudah lancang menyukaimu.
Tidak ada lagi candaan garing yang dilemparkan untukku. Tidak ada lagi suara tawa riang merdu yang biasa kudengar.
"Lo mau ambil jurusan apa, Mi?" Davia bertanya di satu hari padaku.
Ujian Nasional sudah di depan mata, kami juga harus melangkah dengan jalan kami masing-masing. Tidak ada lagi waktu untuk bersenang-senang, mimpi yang telah kami rajut telah siap untuk diraih.
Aku menoleh singkat. "Masih kaya tujuan awal gue waktu kelas 10. Gue pengen masuk Psikologi. Lo sendiri, Dav?"
"Gue bingung nih. Ortu gue nyuruh gue buat masuk jurusan Hukum, lah jangankan ngerti hukum, gue tertarik aja engga."
Aku terkekeh kecil. "Lo bisa bikin diri lo tertarik sama jurusan itu kalo lo mau, Dav. Kalo kata orang sih, tergantung sama niat lo."
"Iya sih, tapi gimana ya? Sumpah demi apapun kek gak ada niatan gitu gue buat kuliah di sana."
"Yaudah gak usah. Lo jelasin aja sama ortu lo baik-baik kalo lo sama sekali gak tertarik kalo gitu."
"Pengennya, doain gue deh ya, Mi. Semoga ortu gue bisa ngerti."
"Aamiinnnn."
"LEO ITU BAJUNYA MASUKIN COBA! KAMU ITU UDAH KELAS 12, MAU LULUS MASIH AJA KELAKUAN BUANDELLLL BANGETTT!" Suara teriakan dari depan pintu kelas membuat aku dan Davia sontak menoleh kaget.
Di depan kelas berdiri Bu Indah dengan tangan berkacak di pinggang. Matanya bergerak awas pada Leo yang masuk kelas dengan langkah terburu-buru.
"Iya ampun, Bu!" Leo berteriak nyaring, cepat-cepat memperbaiki seragamnya yang keluar.
"Awas kamu! Ibu gunting nanti bajunya biar gak bisa dimasukin lagi."
Aku dan Davia langsung tertawa saat mendengarnya. Coba aja kelas ini lagi ramai, pasti teman-temanku akan lebih ngerusuh lagi buat ngomporin Bu Indah untuk memberi hukuman yang berat pada Leo.
Tapi pernah juga tuh, dulu, waktu Leo diberi hukuman yang lumayan berat dengan berjemur hampir setengah hari di lapangan upacara. Teman-temanku langsung kompak mendatangi Leo, membelikannya minuman dan menemaninya menjalani hukuman.
Serta merta karena kasihan anak nakal itu berdiri sendirian di lapangan upacara. Mana waktu itu matahari bersinar terik sekali.
Leo itu anak badung, nakal, kerjaannya ngapelin BK. Tapi sebenarnya dia itu baik, semua orang yang mengenalnya lebih jauh juga pasti menyadarinya.
Tapi pasti ada saja yang menilai Leo dari sisi buruknya saja, tidak melihat dari sisi kebaikannya.
Dan aku bersyukur termasuk dalam orang-orang yang bisa melihat sisi malaikat Leo.
"Gila heh, Leo tuh. Gak kapok apa ya kena kejar Bu Indah mulu." Davia geleng-geleng kepala sedangkan aku di sebelahnya masih terkekeh.
"Emang-"
"Wesss, ada yang gibahin gue nih. Sini, ayo ke sini kalo mau minta tanda tangan, gak usah malu-malu." Tiba-tiba saja Leo menyeruak di antara aku dan Davia dengan wajah sengak.
Diam-diam aku menahan napas saat melihatnya lagi dalam jarak sedekat ini. Aku ini sudah sinting, ya? Melihatnya seperti ini saja sudah membuatku berdebar tidak karuan.
Davia langsung berdecak lalu maju menjambak rambut Leo beringas. "Apaan sih lo ganggu aja?! Pergi sana!" semburnya galak.
Aku saja langsung tersentak kaget saat mendengar jeritan Leo.
"Eh, eh, udah, Dav. Jangan dijambak dong rambut orang anjir," ucapku panik berusaha melepaskan jambakan Davia pada rambut cowok itu.
"Gila si Davia tenaga kek gorilla anjay."
Aku menghela napas saat Davia melepaskan jambakannya pada rambut Leo tapi masih memelototi cowok itu.
"Pergi sana lo! Hus, hus!"
"Iya, iya gue pergi. Galak amat anjir, kek macan PMS." Leo menyahut sambil menjauhi kami, tak lupa dengan juluran lidah dan wajah sengak yang membuat tangan ini gatal untuk menggamparnya.
Yah, sebenarnya Leo masih sama.
Hanya saja, sikapnya denganku kini yang sudah berbeda. []
KAMU SEDANG MEMBACA
Priority | √
Teen FictionSemua orang memiliki prioritasnya masing-masing. Dan dari sekian banyak kemungkinan, bisakah aku meminta seseorang di ujung sana menjadikanku sebagai prioritas dirinya juga? © Aemicasa, 2019.