Episode 10 / Menghitung Hari

174 31 0
                                    

"Papa, waktunya makan malam!" Mama berteriak dari meja makan, dengan cepat menyiapkan piring dan memindahkan masakannya dari teflon.

Seperti biasa, aku dan kakek lanjut bermain video game di ruang televisi sambil menunggu makan malam. Entah bagaimana kakekku ini tiba-tiba mahir bermain. Kali ini kami memainkan sebuah permainan berbasis sejarah tentang wabah. Animasinya sangat keren, membuatku suka memainkannya. Bahkan sudah selesai setengah jalan dari tadi siang.

"Wah, kakek sudah masuk chapter terakhir!" Aku berseru riang, menatap layar televisi lekat. Animasi video game itu terlihat realistis, seolah melihat secara langsung kejadiannya.

"Eh? Sudah chapter terakhir? Kenapa secepat ini aku memainkannya?" Lucius memasang wajah heran, menggaruk rambutnya seperti anak kecil yang kebingungan.

"Kakek serius sekali bermain, sampai tidak pernah gagal," Aku menepuk dahi, sedikit gemas dengan pria satu ini.

Dia sudah memainkan bagian kedua dari video game itu dalam waktu dua jam tapi tidak puas juga? Batinku tak percaya.

"Kakek, Afya, selesai main playstation nya. Mama sudah mau meledak di sana," Papa membisiki kami dengan wajah ngeri, menunjuk ke ruang makan.

"Kakek merasakan aura itu, kan?" tanyaku melalui telepati.

"Tentu saja," jawab Lucius sambil melirik. "PMS."

Tanpa menunggu, kakek segera mencabut kabel playstation dan mematikan televisi, lalu menyusulku ke meja makan.

Makan malam hari ini terasa menyenangkan. Kakek dan kedua orangtuaku banyak berbincang tentang berbagai hal, mulai dari makanan lezat hingga kota-kota indah di pelosok negeri. Ternyata Papa dan Lucius cepat akrab, dan juga nyambung dalam banyak hal.

Saat aku akan menyantap suapan terakhir, earbud canggih tiba-tiba muncul di telingaku. Tanda ada yang memanggilku dengan gelang khusus.

"Ah kenyangnya, aku akan mencuci piring di dapur," Aku beranjak dari kursi, dengan cepat mengangkat piring-piring di atas meja.

Mama dan Papa dengan cepat pergi menaiki anak tangga menuju kamar mereka.

"Oke Elios, kau bisa bicara sekarang." Aku menekan earbud di telinga kananku, dan mulai mencuci piring.

"Kau tidak lupa kan kalau besok kita akan pergi ke Dunia Bayangan?"

"Ya, aku tahu. Tapi bagaimana cara memberi tahu orangtuaku? Mereka pasti akan bertanya-tanya karena ini bukan waktu wajar untuk bepergian, Elios," Piring yang sudah kucuci dengan sabun dimasukkan ke dalam bak berisi air, lalu melayang menuju rak piring.

"Beritahu mereka kalau kau akan pergi untuk belajar sejarah selama dua atau tiga hari. Sebut saja namaku, mereka pasti sudah mengetahuinya, dan akan menyetujui."

"Bagaimana kamu bisa seyakin itu?" tanyaku heran, berhenti sejenak dengan spons berbusa di tanganku.

"Percaya diri tingkat dunia paralel, nona." Elios menjawab dengan santai, sembari menghisap minumannya dengan sedotan.

Aku tertawa beberapa saat, lalu lanjut mencuci piring. Beberapa menit ke depan, aku dan Elios bercerita banyak hal. Mulai dari suka dan duka menjadi pemimpin kerajaan, alat-alat baru untukku dan kedua sahabatku, keadaan Lucius setelah menonton sidang, hingga masakan Mama yang Elios rindukan.

"Kata Mama, sarapan besok pagi akan beragam, lho." Aku memutar keran, lalu mencuci tangan dengan sabun, dan mengeringkannya dengan lap. Setelah itu, aku berjalan ke ruang televisi.

"Bolehkah aku ikut sarapan lagi? Besok aku tidak ada jadwal," Elios merengek, terdengar sangat kelaparan.

Kena kau.

"Aku tidak tahu. Kalau kau mau mengizinkanku secara langsung, mungkin akan kupertimbangkan membuka barrier di sekitar rumahku." jawabku dengan angkuh, menekan tombol on di televisi.

"Bisakah kau pakai otak cerdikmu itu selain mengancam perutku?" dengus Elios di ujung telepon lainnya. Aku bisa membayangkan wajahnya yang menjadi semerah buah persik karena kesal.

Entah mengapa keluarga kerajaan keturunannya baby face semua. Hal itu membuatku suka memanggilnya 'Eli' agar wajahnya menjadi merah karena marah.

"Aku menggunakan otakku dengan baik, dan untuk hal yang menguntungkan tentunya." balasku dengan tawa kecil, menunggu iklan-iklan komersial di televisi berakhir. Setelah ini, acara zoologist kesukaanku akan tayang.

"Puh, baiklah. Aku yang akan mewakilimu besok saat sarapan, kau puas?" Elios pasrah saja, mana mungkin dia akan menangisi sarapan terlezat yang pernah ia rasakan?

"Nah, begitu baru bagus," Sekali lagi aku tertawa puas, mulai menyimak acara zoologist yang baru tayang.
***
Please support me by vote and follow! {^~^}

TMA Series 2: ILUSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang