Serpihan Cita Di Tepi Wakatobi

19 3 1
                                    

#Cerpen

Serpihan Cita di Tepi Wakatobi

~Marina Samudra~ #Keputusan Yang Sulit di Terima#

       Kedua mataku tak kunjung beralih dari sederet rumah kayu yang berjejer apik menghiasi pesisir. Harap-harap dirinya segera muncul dari persembunyian. Sudah hampir dua jam aku menanti, tapi tanda-tanda akan kehadirannya juga tak kunjung nampak. Entah kemana lelaki itu. Mungkinkah ia lupa akan janjinya? Atau memang ada sebuah kepentingan mendadak? Hendak aku beranjak, berniat menghampiri. Namun, semua kuurungkan tatkala mataku menangkap sosoknya yang tiba-tiba muncul di kejauhan mengenakan kaus merah. Seulas senyum pun terbit di bibirku.
         “Sudah siap?” tanyaku bersemangat setelah ia tiba dihadapanku. Dia hanya diam, tak merespon sedikitpun pertanyaanku. Aura yang ia keluarkan juga lain. Lelaki yang biasanya kukenal itu langsung menanggapi setiap pertanyaan yang kuajukan,  tetapi kali ini tidak. Dia benar-benar mengunci mulut. Terlihat jelas di wajahnya suatu gejolak kata yang ingin  ia sampaikan padaku.
     “Rito…,” panggilku berusaha mencairkan suasana. Sesaat kemudian, dia mulai mau membuka mulutnya.
     “Maaf, saya tidak bisa ikut dengan mbak” Deg! Gumpalan awan dilangit terasa runtuh menimpa tubuhku. Mimpikah aku barusan? Atau mungkin telingaku yang sedang bermasalah?
    “Apa? Kenapa?” tanyaku meminta penjelasan.
    “Kota bukanlah tempat yang pantas untuk saya, karena disinilah alam saya yang sesungguhnya, lautan”
     Aku sempat terkejut mendengar pernyataannya. Tetapi, bukankah kemarin ia mengungkapkan kesediaannya merantau ke ibu kota untuk melanjutkan pendidikan?
     “Kenapa kau begitu cepat berubah dalam mengambil keputusan? Dimana semangatmu dalam meraih cita-citamu?!”  tegasku dengan nada sedikit meninggi.
    “Itu dulu. Sekarang semua sudah menjadi serpihan-serpihan kecil yang hanyut bersama ombak di lautan. Maafkan saya” ucapnya, lantas berlalu begitu saja meninggalkan diriku yang masih tak percaya dengan semua yang terjadi bak kerjapan mata.
    “Tetapi, impian adalah hak setiap orang. Dan kau pantas mendapatkannya!” aku berteriak keras padanya. Namun, Rito tak mengindahkan perkataanku. Ia tetap melangkah bersama puing-puing impian yang bermetamorfosis menjadi retakan asa.
     Untuk beberapa saat tatapanku enggan beralih dari punggung Barito. Hingga sosoknya mulai menghilang termakan jarak dan waktu.

~Barito Anggara~ #Pupus Tak Tersisa#

   Lelaki berbaju hitam kumal itu berdiri seraya menatap penuh tanya seorang wanita tengah baya yang juga menatapnya serius. Kedua manik mata coklat miliknya-yang berubah menjadi oranye transparan ketika tertimpa sinar matahari bersikeras untuk menembus dan meluluhkan  pandangan si wanita yang sudah menyenja. Sebenarnya tajam, namun lembut. Hingga menimbulkan kesan tersendiri bagi sang wanita.
Sedang wanita itu berusaha tuk menyembunyikan rasa simpati yang tetiba muncul karena tatapan lelaki tersebut. Bahkan sebaliknya, dibawanya pandangan lelaki itu hanyut terseret arus tatapan miliknya yang mengandung ketegasan tak main-main. Sampai sirna, tanpa membekaskan jejak.
   Lelaki itu pun mendesah berat. Jari jemarinya meremas rambutnya yang sedikit keriting kemerah-merahan sampai terasa nyeri di ubun-ubun. Diaturnya nafas yang tidak terkendali. Sedikit demi sedikit diubah cara pandangnya menjadi penuh harap dan memelas.
    “Ina,…” belum selesai dia berucap, buru-buru wanita tuanya menyambar bak alap-alap tengah mencari mangsa.
   “Berapa ribu kali ina harus bilang sama kamu? Tak usahlah kau ikut-ikut gadis kota itu! Sekarang lihat! Belum pergi pun kau sudah pintar membantah ambu. Apa jadinya kau nanti setelah pergi ke daratan sana?” tegas Burenis menahan amarah yang hampir naik pitam pada sang buah hati.
    Untuk kesekian kali Rito hampir putus asa. Dia semakin tertekan. Rasa teramat nyeri mulai berdatangan dan mencekam syaraf ulu hati. Baginya perkataan Burenis laksana gada raksasa yang menghancurkan hati. Hingga berbagai pertanyaan pun tak dapat lagi dicegah tuk singgah berkecamuk di kepala. Pertanyaan tentang alasan dibalik larangan Burenis mencegah dirinya untuk merantau  ke ibu kota.
    “Tetapi  kenapa, Na? Beri Rito alasan yang jelas!”  Rito tak mau kalah. Justru dirinya semakin berani membantah Burenis. Pemuda peranakan suku Bajo itu tetap bersikokoh mempertahankan impian yang sudah lama mendarah daging. Tepatnya, semenjak ia baru menyadari akan kurangnya pendidikan di sukunya ini.
    Lantas rerangkaian mimpi yang tinggal selangkah saja teraih harus pupus tanpa alasan. Tak berjalan sesuai harapan awal yang diinginkan. Lalu, apa yang harus diperbuatnya saat ini? Akankah dirinya rela melepaskan impian tersebut hanya dengan menuruti sebuah perkataan kolot? Satu prinsip yang masih tertanam erat di hati: sekali tidak, tetap tidak.  Lebih-lebih jika itu berhubungan dengan kebaikan dan sebuah niatan. Lagipun, dampaknya akan terasa bagi seluruh masyarakat suku Bajo nanti.
    “Sebab ina benci dengan orang orang darat yang telah merubah tradisi nenek moyang kita!” jawab Burenis mantap, kemudian melempar tatapan murka pada Rito sebelum benar-benar meninggalkannya.

#Jalan Meraih Cita-Cita#

   Di atas jembatan kayu sepanjang satu kilo meter itu Marina mengayun kakinya mengejar beberapa anak kecil yang berlarian menuju  laut. Nampak raut bahagia terlukis di wajah tirusnya, sama sekali tak ada kelelahan ataupun kekecewaan yang menghiasi. Justru dirinya memanfaatkan peluang ini untuk berbaur dan belajar pengetahuan baru dari salah satu nirwana dunia yang mungkin sempat luput tertelan perubahan budaya.
   Tak lain dan tak bukan adalah kampung Bajo. Sebuah perkampuan yang terletak di kecamatan Wangi-wangi, kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara itu menyimpan keunikan tersendiri dan tradisi nenek moyang yang sampai detik ini belum berubah. Mereka hidup secara nomaden; berpindah tempat dari satu pulau ke pulau lain, menggunakan sampan kayu sebagai alat transportasi. Namun, dewasa ini sudah banyak sebagian dari mereka yang memanfaatkan pesisir pantai di pedalaman sebagai permukiman. Dengan bermukim di wilayah pesisir, mereka lebih mudah berpergian mencari ikan yang merupakan mata pencaharian utama. Bahkan, ada juga yang membangun rumah berbahan dasar kayu, memanjang di atas laut.
    “Hei!... Hati-hati!” teriak Marina melihat satu per satu dari mereka terjun menyatu bersama hamparan biru jernih. Tawanya semakin pecah disaat  mereka memercikan air laut ke arahnya. Membuat pakaian yang ia kenakan sedikit basah. Namun, ia  tak kunjung turun berbaur bersama mereka. Ia lebih memilih mengamati dari atas daripada menikmatinya di bawah, seraya mengabadikan mereka melalui sebuah kamera untuk dokumentasi  di kampus.
      “Terkadang, saya merasa kasihan melihat keadaan mereka.” Suara lelaki yang tetiba muncul membuat Marina menghentikan aktifitasnya memotret. Gadis itu mengalihkan kefokusannya pada seorang lelaki berkaus hitam yang kini tengah berdiri disamping kanannya.
    “Apa yang membuatmu berpendapat demikian?” sahut Marina.
    “Dulu, jauh sebelum suku kami mengenal kehidupan menetap, nenek moyang kami masih belum banyak mengetahui tentang pendidikan. Mereka jarang berinteraksi dengan orang-orang darat. Kalaupun berinteraks,i mungkin hanya sekadar tukar menukar barang atau kegiatan jual beli lainnya. Waktu mereka lebih banyak dihabiskan bersama alam dan kelompok mereka. Mulai dari memenuhi kebutuhan pokok hingga kebutuhan yang bersifat langka. Semua terjadi dalam satu lingkup wilayah. Sebab mereka beranggapan jika Laut adalah alam kami, laut adalah kehidupan kami, dan laut adalah guru kami.” Lelaki itu menarik napas dan menghembuskannya perlahan, lantas melanjutkan kalimatnya.
    “Namun, semua mulai berubah ketika pemerintah mengirimkan beberapa relawan ke kampung kami. Kami pun diajari dan dikenalkan tentang huruf, membaca, menulis, berdagang yang baik, serta cara memanfaatkan sumber daya alam yang ada dengan benar. Hal itu diterima dengan hangat oleh masyarakat setempat. Namun sayang, semua tak berjalan lama, terutama dalam penerapan pendidikan. Hingga saat ini, banyak anak-anak suku Bajo yang putus sekolah karena akses yang cukup  sulit untuk mendapatkan pendidikan di luar kawasan pemukiman. Sehingga, mengakibatkan tingginya angka buta huruf di kalangan masyarakat Bajo kembali meledak.”
   “Lalu, setelah kejadian tersebut, apakah tak ada bala bantuan lagi yang datang membantu mengembangkan pendidikan di suku Bajo?”
   “Setahu saya belum pernah. Hanya sekali, dan itu sudah cukup lama.” Jawab lelaki itu sembari melempar beberapa batu ke arah laut.
    “Semenjak  itu pula, saya bertekad untuk merantau ke darat guna mencari pendidikan setinggi-tingginya. Supaya saya bisa membangun sekolah kecil dan menjadi seorang guru bagi penerus bangsa di suku Bajo, kemudian menerapkan sistem pendidikan tanpa mengganggu kegiatan berlayar mereka bersama  para orang tua mencari nafkah dikala laut pasang surut.”
Marina mengangguk, lalu menunduk. Entah kenapa dadanya terasa sesak setelah mendengarkan kisah dan keinginan kuat lelaki disampingnya. Begitu beruntungnya dirinya yang masih dapat merasakan suka duka bangku pendidikan dari tingkat dasar hingga kini ia menjadi seorang mahasiswi. Ternyata, tanpa sepengetahuannya, masih banyak masyarakat di Indonesia yang miskin akan pendidikan. Tak hanya suku Bajo, mungkin masih banyak puluhan bahkan ratusan suku pedalaman di pelosok-pelosok negeri. Salut. Sebuah kata yang mampu ia lukiskan mewakili sosok seorang Barito Anggara.
     “Andai saja ada sebuah kesempatan untuk meneruskan pendidikan yang sempat putus, akankah kamu bersedia mengambilnya?” pertanyaan yang Marina ajukan berhasil membuat pemuda bernama Barito itu refleks menoleh kearahnya.
     “Apa maksud mbak?”
    “Jika kamu berkenan, lusa ikutlah aku ke Jakarta. Akan aku ajukan keinginanmu kepada pemerintah supaya kamu dapat menggapai cita-cita yang mengendap di balik keindahan Wakatobi.” Ucap Marina pasti. Ia yakin, melalui perantara Barito, suku Bajo akan memiliki peradaban baru.
    Sedang Barito tak mampu berucap sepatah kata setelah mendengar pernyataan Marina. Berulangkali ia menatap Marina dengan tatapan tak percaya, memastikan akan kesungguhan gadis itu dalam berucap.
   Perlahan, semilir angin laut bersembus menampar lembut sepasang wajah di bibir pantai. Tanpa mereka sadari hari semakin gelap. Sedikit demi sedikit sepuhan semburat merah di langit mulai terlihat. Bersamaan dengan mentari yang melambai pulang, tanpa sepengetahuan Marina, setetes air mata haru merangkak keluar dari sudut mata Barito.
          

*Ina: ibu

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 20, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Antologi Cerpen Jejak-jejak Perjuangan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang