Cahaya yang tidak begitu menusuk masuk melalalui celah jendela kamarku. Aku masih terdiam saat detik sebelumnya menerima sebuah panggilan telepon rumah yang bahkan sampai saat ini sambunganya belum terputus.
"Adriani! "
"Riani"Wanita diseberang sana terus memanggil namaku. Pikiran dan rasa sedih dalam hatiku sangat sulit dikendalikan. Aku melepas telepon yang ada di genggaman ku berniat untuk bergegas ke rumah sakit yang sekarang aku sesali telah meninggalkan tempat itu.
Aku berlari secepat mungkin dan sesekali menatap langit senja dengan harapan ini hanya sebuah mimpi atau berharap ada suatu keajaiban agar ibu ku hidup kembali.
Aku tidak siap dengan keadaan ini, bahkan sebelumnya membayangkan keadaan seperti ini pun tidak pernah. Jadi bagaimana aku siap dengan keadaan ini.Aku membenci suasana ruangan yang aku masuki saat ini. Ruangan yang biasanya penuh dengan bisikan doa dan harapan, kini penuh dengan tangisan. Ku lirik keadaan ruang rawat ini dari ambang pintu. Aku ingat pesan terakhir beliau sebelum aku pamit pulang untuk mengambil beberapa pakaian.
"manusia memiliki garis takdir sendiri, tuhan tidak mungkin memberi nasib malang kepada makhluk ciptaanya. Suatu yang di mulai selalu ada hentinya, kepergian bukan nasib buruk tidak sepantasnya kita menangis karena takdir itu. "Sangat disesali takdir tidak mengijinkan ku untuk melihat ibu menutup mata. Ibu menyuruh ku pulang untuk mengmbil barang dan pakaian, seakan ia tak mau aku bersedih melihat kepergianya.
Tapi bagaimana bisa aku tidak sedih dan menangis. Bahkan kakak ku yang aku anggap manusia tersabar dan kuat pun ikut menangis tersedu-sedu. Aku berlari ke arah kasur yang ditiduri sosok yang amat aku sayangi. Dengan tangisan yang tidak aku tahan lagi. Aku peluk badanya. Hangat, tetap hangat. Aku merasakan kakak ku mengusap lembut punggung ku. Aku tahu pasti dia berusaha menenangkan ku. Rupanya dia tidak bercermin , bahwa seharusnya dia yang di tenangkan.
Aku harus dewasa, mengikhlas kan adalah hal yang harus aku lakukan saat ini. Aku dan kakak ku duduk di kursi depan berjaga-jaga jika akan ada tamu yang masih akan datang.
Pasti bertanya-tanya, kemana suami ibu ku, kemana ayah ku. Aku pun tidak tahu, menurut pernyataan bibi ayahku akan datang secepatnya dan meninggalkan pekerjaanya sementara untuk keadaan saat ini. Ya, memang seharusnya seperti itu, tatapi sampai saat ini ayah ku belum pulang. Sesuatu pasti telah terjadi, tetapi aku tidak mengetahui apa yang terjadi.
Aku berdiri dari tempat ku duduk, memberi salam kepada paman ku. Paman datang bersama istri dan anaknya.
"Abbas, ayah tidak datang ya? " paman berbicara setelah bersalaman dengan kakak ku.
"Iya, saya resah menunggu kedatangan atau kabar dari nya. Besok pagi ibu harus di makam kan. Saya harap ayah sudah pulang" jelas Bagas Adji, kakak ku.
"Peranan Angkatan darat sekarang sangat di perlukan untuk pertahanan pada saat ini"Aku mendengar penjelasan paman ku, aku sadar betul bahwa negeri ku sedang tidak baik baik saja, banyak isu-isu pemberontakan yang ingin menggulingkan Soekarno. Meskipun ayah ku hanya berpangkat sersan, tetapi pasti sulit untuk ijin cuti dan pulang ke rumah.
Pemakaman ibu ku berlangsung saat ini. Pagi cerah dengan matahari sepenggalahan naik. Aku dan kakak ku bersebelahan saling menguatkan melihat sesosok yang kami cintai untuk terakhir kalinya. Kami panjatkan doa untuk nya. Mengusap nisan dan enggan untuk meninggalkan tempat peristirahatan nya.
•••
Rumah ku termasuk yang sangat beruntung karena telah memiliki telepon rumah. Biasanya hanya di kantor, rumah sakit, atau gedung-gedung penting yang biasanya telah memiliki telepon.
Hingga kini ayah ku belum ada kabar, padahal pihak kami telah memghubungi kantor ayah ku perihal ibu ku telah tiada.
Aku ke dapur hendak memasak nasi, saat ku sadari persediaan beras tinggal sedikit. Minyak tanah dan bahan sembako lain pun tinggal sedikit. Benar-benar, kehadiran sosok ibu adalah segalanya. Jika ada ibu pasti tidak akan seperti ini.